Kamis, 19 September 2019

Sejarah Desa Teros

Sejarah Berdirinya Desa Teros

Desa Teros adalah salah satu Desa yang ada di Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Desa Teros merupakan salah satu Desa Tua dan beberapa wilayahnya sudah dimekarkan menjadi beberapa Kelurahan dan Desa. Sejarah Desa Teros tidak bisa dipisahkan dari perkembangan Kerajaan Selaparang dimasa lalu.
Wajah baru kantor Desa Teros setelah direnovasi
Bunut (Beringin) di depan kantor Desa Teros yang menjadi ikon Desa Teros

Sebelum menjadi Raja Selaparang, Raja Dewa Meraja Kesuma yang memiliki julukan masa kecil Doyan Mangan/ Doyan Neda membagikan wilayah kepada dua orang saudara angkatnya yaitu Sigar Penjalin dan Arya Waringin/ Arya Beringin. Pembagian wilayah ini dilakukan di daerah yang kemudian dinamakan Jero Aru (Jero Baru). Kata "Jero" dalam bahasa Sasak kuno berarti "Pemimpin" atau orang yang menguasai suatu wilayah. Dalam pembagian wilayah ini diputuskan bahwa Sigar Penjalin ditempatkan di daerah Sembah Ulun (Sembalun) sebagai Raja dengan wilayah meliputi Lombok bagian Utara. Sedangkan Arya Waringin ditempatkan di Lombok bagian Barat dan Lombok bagian Tengah sebagai Raja dengan pusat di daerah Langko.
Kemudian Doyan Mangan/ Doyan Neda sendiri kembali ke Selaparang dan naik tahta menjadi Raja Selaparang. Selaparang sendiri dijadikan sebagai pusat semua kerajaan (kedatuan) yang ada di Lombok. dan Raja Selaparang menyandang gelar Dewa Meraja Kesuma. Penduduk Kerajaan Selaparang dari hari ke hari semakin bertambah banyak, seiring dengan semakin pesatnya perkembangan Kerajaan Selaparang. Raja Dewa Meraja Kesuma kemudian memerintahkan beberapa orang pemuka Kerajaan untuk mencari wilayah baru yang bisa dijadikan sebagai tempat pemukiman.  Raja kemudian meminta tiga bersaudara yang juga masih kerabatnya untuk mengemban tugas tersebut,  ketiga kerabat Raja tersebut adalah Patih Akar, Patih Cinis dan Patih Suliwangi.

Patih Akar kemudian bersama pengikutnya pindah ke daerah yang bernama Monggok yang saat ini lebih dikenal sebagai daerah Kelayu (Kelurahan Kelayu). Sedangkan kedua saudaranya yaitu Patih Cinis dan Patih Suliwangi membawa pengikutnya ke daerah bagian Selatan, yaitu sebuah daerah yang kemudian dinamakan Parwa (saat ini menjadi Peroa setelah ditempati masyarakat dari Suradadi dan Sakra). Tanah Parwa memiliki bentuk segitiga yang semakin ke ujung semakin mengecil (berbentuk Tirus), hal ini disebabkan tanah Parwa diapit oleh dua sungai (kokoq) yaitu sungai (kokoq) Sakra dan sungai (kokoq) Palung.

Patih Cinis dan Patih Suliwangi tidak lama menetap di Parwa karena menganggap tanah Parwa tidak cocok dijadikan sebagai tempat tinggal dan penduduk juga tidak bisa berkembang dengan baik. Maka dari itu Patih Cinis dan Patih Suliwangi membawa pengikutnya pindah ke daerah lain di dekat daerah Monggok yang merupakan daerah yang ditempati oleh Patih Akar dan pengikutnya. Adalah hal yang kebetulan atau memang hal yang disengaja ternyata tanah tujuan baru itu juga ternyata memiliki bentuk yang sama dengan tanah sebelumnya di Parwa, berbentuk segitiga (bentuk Tirus). Tanah ini juga diapit oleh dua buah sungai (kokoq) yaitu sungai (kokoq) Benyer dan sungai (kokoq) Belimbing, daerah baru ini kemudian dinamakan Nanot (Nanyot). 

Entah pemikiran apa yang melatar belakangi Patih Cinis dan Patih Suliwangi merasa perlu untuk pindah lagi ke bagian selatan Nanot (Nanyot) yang lokasinya lebih dekat lagi dengan daerah Monggok (Kelayu). Daerah ini pun berbentuk tirus karena diapit oleh dua sungai, yaitu sungai (kokoq) Belimbing dan sungai (kokoq) Tojang. Dikarenakan sudah tiga kali pindah tempat ke daerah yang berbentuk segitiga (bentuk Tirus), maka daerah ini dinamakan Teros. Jadi nama Teros diambil dari kata "Tirus" yang berarti bentuk segitiga yang semakin ke ujung bentuknya semakin mengecil. Di tempat inilah Patih Cinis dan Patih Suliwangi hidup agak lama, dan ditempat ini juga kemudian Patih Cinis dan Patih Suliwangi dikuburkan setelah wafat. Dalam perjalanan hidupnya Patih Cinis tidak memiliki keturanan, sedangkan yang memiliki keturanan adalah Patih Suliwangi. 

Dalam perkembangan selanjutnya kehidupan masyarakat di Teros berkembang sangat pesat dan merasa agak sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup, hal ini disebabkan oleh lokasinya yang diapit oleh dua sungai. Hal ini berdampak kepada masalah perekonomian penduduk khususnya jual beli  di pasar maupun menuju lokasi pertanian. Kesulitan ini disebabkan oleh dua sungai yang mengapit wilayah Teros terutama di musim penghujan, masyarakat merasa kesulitan menyeberang karena arus sungai yang deras. Guna mengatasi permasalahan ini satu-satunya cara adalah dengan mengajak seluruh penduduk Teros untuk pindah lagi ke wilayah Selatan yang dirasa lebih menguntungkan. 

Di daerah baru ini masyarakat membuat sebuah pegubukan (pemukiman) baru yang diberi nama gubuk (dusun) Selungkep. Setelah perpindahan ini lokasi pemukiman lama dijadikan sebagai areal pekuburan yang disebut kubur Teros/ kubur Reban. Kian lama penduduk Selungkep semakin banyak maka dibangunlah pemukiman baru yang dinamakan Gubuk Memontong, Gubuk Bebai, Gubuk Tuntang, Gubuk Apit Aik, Gubuk Kokoq Daya dan Gubuk Timbak. Masing-masing Gubuk dibentuk sedemikian rupa dengan dibatasi oleh gang disetiap blok, hal inilah yang membuat Dusun di luar Dusun Selungkep terlihat lebih rapi dan lebih tertata dengan gang yang lebih lebar.  Setelah berjalan sekian lama Gubuk Selungkep namanya kemudian dirubah menjadi Teros, agar namanya sama dengan nama pemukiman sebelumnya. 

Setelah berjalan sekian lama, kehidupan warga Teros di tempat baru nyaris tidak ada gejolak dan berjalan sebagaimana mestinya. Pada masa kepemimpinan Jero Sandi (sekitar tahun 1830_an) yang dianggap memiliki pemikiran yang lebih maju, maka seluruh Pegubukan itu disatukan menjadi sebuah Desa yang disebut Desa Teros (sebagaimana Desa Teros yang kita kenal sampai saat ini). Pada perkembangan selanjutnya Desa Teros diperluas menjadi beberapa Gubuk (Dusun) lagi seperti Kembang Kuning dan Loang Tuna. Saat ini ketiganya sudah mekar menjadi Desa Banjar Sari. Mata pencaharian masyarakat Teros dimasa itu adalah sebagai petani, wilayah pertaniannya cukup luas dan berbatasan langsung dengan beberapa Desa lain. Sebelah Timur berbatasan dengan Sisik (Labuhan Haji), Sebelah Selatan berbatasan dengan Gandor, dan sebelah Barat berbatasan dengan Monggok (Kelayu). 

Dibawah kepemimpinan Jero Sandi penduduk hidup makmur dan aman, hingga beberapa tahun kemudian. Kekacauan timbul di Desa Teros disebabkan oleh Kepala Desa Kelayu Jero Ratmaya yang meminta kepada Jero Sandi untuk menyerahkan tanah sawah yang ada di sebelah barat Desa Teros (kemungkinannya adalah daerah Kokoq Lauq Kelayu Selatan). Ternyata Jero Sandi menyerahkan begitu saja tanah sawah tersebut tanpa keberatan. Karena peristiwa tersebut sejumlah warga tidak puas dan menganggap Jero Sandi sedang dalam kondisi mabuk minuman keras saat menyerahkan tanah tersebut. Keputusan itu membuat beberapa pemuka masyarakat kecewa dan marah akan ulah Jero Sandi (Kepala Desa). Masyarakat yang tidak menerima keputusan tersebut akhirnya membuat rencana untuk membunuh Jero Sandi, dan pada peristiwa tersebut Jero Sandi langsung mati terbunuh. Pemuka masyarakat yang terlibat dalam pembunuhan tersebut akhirnya dihukum dengan dipindahkan ke wilayah yang sekarang bernama Dasan Sawe.  

Sepeninggal Jero Sandi terjadi kekosongan kepemimpinan di Desa Teros. Karena Desa Teros tidak ada yang memimpin maka dengan sendirinya Anak Agung Murah (*kemungkinan yang dimaksud adalah Raja Anak Agung Anglurah Gede Karangasem yang memerintah dari tahun 1870 - 1894) yang saat itu menjadi Raja Lombok meminta Jero Mengkudu yang saat itu menjadi Kepala Desa Labuhan Haji pulang ke Teros untuk menjadi Kepala Desa Teros. Tidak ada riwayat yang menjelaskan kenapa masyarakat Desa Teros tidak langsung mengangkat pemimpin sendiri sepeninggal Jero Sandi. Pada waktu itu Desa Labuhan Haji memilik penduduk yang sangat sedikit dengan tanah pertaniannya sangat luas. 

Setelah Jero Mengkudu wafat jabatan Kepala Desa Teros dipegang oleh anaknya yang bernama Jero Nursayang. Jero Nursayang ikut memimpin pemberontakan melawan pemeritahan Belanda di Sisik bersama dengan Kepala Desa yang lain yaitu: Mamiq Mustiasih Kepala Desa Gandor dan Jero Rawit Kepala Desa Apitaik. Mamiq Mustiasih meninggal di Toyang yang masuk wilayah Sakra, sedangkan Jero Nursayang, Jero Bajang Jambun (putera Jero Nursayang) dan Jero Rawit dibuang ke Banyuwangi Jawa Timur. Jero Nursayang wafat di Teros sekembalinya dari pengasingan di Bayuwangi, sedangkan puteranya Jero Bajang Jambun dan Jero Rawit Kepala Desa Apitaik wafat di Banyuwangi Jawa Timur. 

Desa Teros memiliki sejarah yang panjang dan harus diceritakan kembali ke generasi selanjutnya, agar generasi penerus Desa Teros tidak lupa akan sejarah asalnya dan semangat perjuangan para pendahulu. Desa Teros lahir dari untaian perjalanan panjang yang harus dibela sampai kapanpun, tentu saja dengan sama-sama mebangunnya untuk kehidupan anak cucu yang lebih baik. 

Selain bermukim di Teros, warga Teros juga banyak membentuk pemukiman baru di luar Teros, diantaranya adalah Dasan Tinggang dan Lendang Belo (Keluraha Kelayu Jorong), Erot dan Ketangga (Kelurahan Kembang Sari). Gunung Timba, Gunung Siup dan Dasan Gedang (Desa Denggen Timur), Batu Belek (Kelurahan Rakam), Kembang Kerang (Kec. Aikmel),  Karang Sukun Mataram, Dusun Golong Desa Beleka Lombok Tengah) dan Kembang Kerang Desa Aik Daerek Lombok Tengah.

Sumber: Amaq Mustirin/ Haji Nurhayat Muhsinin dan Hamidi (Guru SDN 3 Teros) dan berbagai sumber

Senin, 16 September 2019

Sejarah Kota Selong

Sejarah Berdirinya Kota Selong

Kota Selong merupakan ibu Kota Kabupaten Lombok Timur, salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kabupaten Lombok Timur memiliki luas wilayah 1.605,55 KM², dan secara geografis Kabupaten Lombok Timur terletak antara 116⁰ - 117⁰ Bujur Timur dan 8⁰ - 9⁰ Lintang Selatan. Nama Selong berasal dari bahasa Sasak yang artinya adalah tempat pengasingan atau penjara. Nama ini bukanlah tanpa dasar, karena Kota Selong pertama kali dibuka oleh penjajah Belanda sebagai tempat pengasingan bagi tawanan dari Desa Gandor dan Desa Teros. Untuk itulah di pusat Kota Selong ada Dasan Gandor (samping lapangan Nasional) dan Dasan Teros (tepat di Rumah Tahanan Selong). Sejarah berdirinya Kota Selong memang kental dengan kisah heroik para pejuang pada saat Belanda baru saja menguasai Lombok. Perang yang dalam sejarah Lombok dikenal sebagai "Perang Gandor". 
Masjid Raya Al Mujahidin Ikon Kota Selong (credit Bumi Nusantara blogspot)
Sejarah Perang Gandor
Meletusnya perang Gandor sebenarnya dipicu oleh hal sepele, dimana saat itu masyarakat melakukan sabung ayam tanpa izin. Pada peristiwa itu penjajah Belanda menangkap saudara laki-laki dari Jero Rawit yang saat itu menjadi pemimpin (kepala Desa) Apitaik. Jero Rawit merasa malu karena pihak Belanda memenjarakan saudara laki-lakinya. Hukuman itu dirasa sangat tidak adil dan sangat menyinggung kehormatannya sebagai pemimpin Apitaik. Oleh sebaba itu Jero Rawit merasa lebih baik mati atau memberikan malu yang seimbang kepada Belanda yang ada di Sisik (Ibu Kota Lombok Timur saat itu). 
Untuk mencapai maksud tersebut Jero Rawit meminta bantuan kepada Mamiq Mustiasih pemimpin Gandor dan Jero Nursayang pemimpin Teros. Jero Rawit juga meminta bantuan Lalu Talip (Mamiq Ocet) dari Mamelak (Praya), yang kebetulan sakit hati kepada Belanda karena merasa kecewa atas kebijakan Belanda tentang pengaturan dan penempatan personil di Mamelak (Praya). Lalu Talip merasa berjasa ketika perang menumpas kerajaan Mataram di Mayure, tetapi justru tidak mendapatkan kedudukan. Karena itulah bantuan yang diminta oleh Jero Rawit segera dipenuhi dengan mengirimkan pasukan ke Gandor di bawah pimpinan Mamiq Badil. 
Maka pada malam Sabtu 1 Muharam 1314 Hijriah bertepatan dengan 13 Juni 1896 markas Tentara Belanda di Sisik diserang dari arah Barat (Gandor). Pertempuran berlangsung selama beberapa hari sehingga pasukan di bawah pimpinan Mamiq Mustiasih mundur dan bertahan di Gandor. Dalam pertempuran terakhir Gandor akhirnya dibumi hangsukan oleh Belanda yang membuat pasukan perlawanan menjadi kacau balau. 
Peperangan akhirnya dimenangkan oleh pihak Belanda dan menangkap semua pemimpin perang termasuk Jero Rawit, Jero Nursayang dan anaknya Jero Bajang Jambun. Para pemimpin perang Gandor ini akhirnya dibuang oleh Belanda ke Banyuwangi Jawa Timur. Sedangkan Mamiq Mustiasih dan beberapa pasukan dari Gandor dan Teros bisa meloloskan diri ke Mamelak dan bergabung dengan Lalu Talip, dan pasukannya yang berhasil ditangkap diasingkan ke Hutan Selong. Mamiq Mustiasih meninggal dunia di Toyang (wilayah Sakra), Jero Nursayang meniggal di Teros sekembalinya dari Banyuwangi, Sedangkan Jero Rawit dan Jero Bajang Jambun (putra Jero Nursayang) meninggal di Banyuwangi. 
Pada tahun 1896 Belanda membuka hutan Selong dengan "tawanan" Perang Gandor sebagai penduduk pertamanya. Belanda kemudian menjadikan Selong sebagai Onder Afdeling Lombok Timur yang memrupakan tempat kedudukan Controuleur. Jadi bila dilihat dari sejarahnya maka Kota Selong pada tahun 2019 ini berusia 123 tahun. 

*Dari berbagai sumber