Selasa, 29 Oktober 2019

Materi Mountaineering

Mountaineering

Lokasi: Gunung Rinjani 

Saat ini mendaki gunung bukan lagi menjadi kegiatan langka terutama di kalangan generasi muda dan mahasiswa. Bahkan bagi beberapa orang beranggapan bahwa mendaki gunung adalah sebuah gaya hidup (life style). Seperti diketahui bahwa mendaki gunung adalah kegiatan alam bebas yang berbahaya, keras, penuh tantangan, membutuhkan keterampilan, kecerdasan, kekuatan dan daya juang yang tinggi. Akan terapi sisi berbahaya dan tantangan justru menjadikan kegatan mendaki gunung memiliki daya tarik tersendiri.

Sisi berbaya dan penuh tantangan inilah yang akan menjadi penguji bagi para Pendaki (Mountaineer) untuk selalu menyelaraskan diri dengan alam yang keras dan liar. Keberhasilan sebuah pendakian merupakan sebuah wujud dari kemenangan para pendaki mengalahkan ego pribadi dan rasa takut. Guna mencapai kesuksesan dalam setiap pendakian pengetahuan dan skill seorang Pendaki sangat menunjang terutama untuk beberapa gunung yang memang dikenal memiliki tingkat kesulitan yang khas. Salah satu pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang pendaki adalah materi Mountaineering. 

Pengertian Mountaineering
Kata Mountaineering berasal dari kata Mountain yang berarti Gunung, jadi Mountaineering bisa diartika sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan gunung atau dalam arti yang lebih luas adalah suatu proses pendakian gunung dari baru mulai berjalan kaki sampai dengan menggapai puncak-puncak gunung terutama untuk gunung-gunung yang memiliki tingkat kesulitan tinggi. Ada banyak alasan seseorang untuk melakukan kegiatan Mountaineering, dimana diantara beberapa alasan itu adalah:
1. Mata pencaharian
2. Adat istiadat
3. Agama/ Kepercayaan
4. Ilmu Pengtahuan
5. Olah raga
6. Rekreasi
7. Petualangan

Terminologi Gunung
1. Gunung: Suatu bentuk permukaan tanah yang letaknya jauh lebih tinggi daripada tanah-tanah yang ada di sekitarnya
2. Pegunungan: kumpulan atau gugusan beberapa gugusan gunung besar dan kecil yang memanjang dan sambung-menyambung satu sama lain.
3. Bukit: Suatu bentuk wujud alam wilayah bentang alam yang memiliki permukaan tanah yang lebih tinggi dari permukaan tanah di sekelilingnya namun dengan ketinggian relatif rendah dibandingkan dengan gunung. 
4. Perbukitan: Beberapa bukit yang berjajar atau suatu rangkaian bukit yang panjang pada suatu daerah yang luas.
5. Tebing: Formasi bebatuan yang menjulang secara vertikal. Tebing selain ditemukan di gunung juga bisa ditemukan di daerah pantai, pegunungan dan sungai.
6. Plateu: Dataran yang terletak pada ketinggian (di atas 700 mdpl)
7. Summit: Puncak gunung


Sejarah Mountaineering
Pendakian gunung sebenarnya sudah dilakukan oleh para nenek moyang kita terutama nenek moyang ummat manusia yaitu Nabi Adam ketika mencari belahan jiwanya Siti Hawa. Dimana kemudian Allah mempertemukan Nabi Adam dan Siti Hawa di Jabal Rahmah yang berarti Gunung Kasih Sayang. Isteri Nabi Ibrahim yang bernama Siti Hajar juga melakukan hal yang sama, berlarian diantara gunung Shafa dan Marwah untuk mencarikan anaknya Nabi Ismail air minum di tengah gurun yang gersang. Dimana akhirnya atas kehendak Allah SWT keluar air diantara bekas pijakan bayi Ismail yang kemudian diberikan nama Air Zam Zam. Dan pendakian demi pendakian akan terus dilakukan oleh kita atau generasi setelah kita demi menjaga kelanggengan ummat manusia dalam menjaga keselarasan dengan alam. 
Ada beberapa jenis kegiatan mountaineering yang bisa dilakukan oleh seorang mountaineer.

Hiking atau Hill Walkiing
Hiking adalah sebuah kegiatan mendaki daerah perbukitan atau menjelajah wilayah bukit yang tidak terlalu tinggi dengan kontur tanah tidak terlalu terjal dan kemiringan kurang dari 45 derajat. Saat melakukan hiking biasanya tidak dibutuhkan alat bantu khusus atau hanya megandalkan kedua kaki sebagai alat utama. 

Scrambling
Level berikutnya setelah Hiking adalah Scrambling yang merupakan kegiatan mendaki ke wilayah-wilayah yang lebih tinggi dari bukit dengan kemiringan yang lebih ekstrim yaitu di atas 45 derajat. Jika dalam Hiking kaki adalah alat utama dan tidak memerlukan alat bantu khusus, maka dalam Scrambling tangan sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang gerakan kaki dalam membantu menjaga keseimbangan. Karena derajat kemiringan daratan yang lumayan ekstrim, keseimbangan para pendaki perlu dijaga dengan tangan mencari pegangan disekitarnya. Dalam scrambling, tali sebagai alat bantu mulai dibutuhkan untuk menunjang pergerakan naik dan menjaga keseimbangan tubuh.

Climbing
Climbing merupakan level mountaineering yang paling ekstrim. Dimana Climbing mutlak memerlukan alat bantu khusus seperti karabiner, tali panjat, harness, figure of eight (biasa disebut figur 8), sling dan deretan peralatan mountaineering lainnya. Kebutuhan alat bantu memang sesuai dengan medan jelajah Climbing yang sangat ekstrim. Bayangkan saja jika kita memanjat tebing batu dengan kemiringan 80 - 90 derajat. 

Peralatan Mountaineering 
Ada beberapa alat dasar kegiatan mountaineering seperti ransel atau carrier, Vedples atau botol air, sepatu gunung, pakaian gunung, tenda, misting (rantang masak outdoor), kompor lapangan, topi rimba, peta, kompas, alti meter, korek, pisau, senter, matras dan bahkan alat tulis mutlak dibutuhkan selain juga peralatan Climbing yang sewaktu-waktu juga dibutuhkan sesuai dengan kondisi medan.
Contoh beberapa peralatan


Persiapan dalam sebuah pendakian
1. Berpikir logis
hal ini merupakan elemen terpenting dalam membuat keputusan selama pendakian, dimana berfikir logis lebih banyak mempertimbangkan faktor safety atau keselamatan.
2. Memiliki pengetahuan dan keterampilan
Pengetahuan dan keterampilan ini meliputi pengetahuan tentan medan (navigasi), cuaca dan teknik pendakian, pengetahuan tentang alat pendakian atau pengetahuan climbing serta pengetahuan lainnya.
3. Bisa mengkoordinir tubuh
Maksdunya adalah bisa mengkoordinir anggota tubuh antara otak dengan anggota tubuh lainnya. Haruslah ada keseimbangan antara apa yang dipikirkan otak dengan apa yang bisa dilakukan oleh anggota tubuh. 
4. Kondisi fisik yang memadai
Hal ini menjadi fokus utama karena mendaki gunung termasuk dalam olah raga yang cukup berat. Berhasil atau tidaknya suatu pendakian atau pemanjatan tergantung pada kekuatan fisik. Maka dari itu latihan atau pemanasan sebelum melakukan pendakian/ pemanjatan harus dilakukan agar fisik senantiasa dalam kondisi baik dan siap.

Perencanaan perlengkapan pendakian
Dalam sebuah pendakian atau petulangan di alam bebas, persiapan segala sesuatu yang menunjang petualangan mutlak dilakukan. Terutama kesiapan fisik dan mental yang merupakan modal dasar seorang mountaineer. Selain itu perlengkapan dan peralatan adalah pendukung keberhasilan sekaligus sebagai tolak ukur seorang montaineer.
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mempersiapkan perlengkapan dan peralatan adalah:
1. Mengenal medan yang akan dilalui (hutan, sungai, rawa, semak, tebing maupun kondisi sosial masyarakat di wilayah setempat).
2. Menentukan tujuan pendakian (ekspedisi, latihan, SAR, penelitian ataupun wisata/ rekreasi).
3. Menentukan lamanya waktu yang dibutuhkan dalam pendakian.
4. Mengetahui kemampuan fisik dalam membawa beban (beratnya tidak lebih dari sepertiga berat badan atau antara 15 kg - 20 kg).
5. Menyiapkan hal-hal lain yang mungkin dibutuhkan selama perjalanan seperti vitamin, obat-obatan terntentu, peta dll.

Setelah mengetahui hal-hal di atas maka kita bisa mempersiapkan peralatan dan perbekalan (logistik) yang sesuai dan selengkap mungkin. Jangan lupa buatkan check list barang yang harus dibawa, agar tidak kurang dan tidak berlebih karena akan berpengaruh pada beban yang akan dibawa.

Salam Lestari...!!! 

Kamis, 19 September 2019

Sejarah Desa Teros

Sejarah Berdirinya Desa Teros

Desa Teros adalah salah satu Desa yang ada di Kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Desa Teros merupakan salah satu Desa Tua dan beberapa wilayahnya sudah dimekarkan menjadi beberapa Kelurahan dan Desa. Sejarah Desa Teros tidak bisa dipisahkan dari perkembangan Kerajaan Selaparang dimasa lalu.
Wajah baru kantor Desa Teros setelah direnovasi
Bunut (Beringin) di depan kantor Desa Teros yang menjadi ikon Desa Teros

Sebelum menjadi Raja Selaparang, Raja Dewa Meraja Kesuma yang memiliki julukan masa kecil Doyan Mangan/ Doyan Neda membagikan wilayah kepada dua orang saudara angkatnya yaitu Sigar Penjalin dan Arya Waringin/ Arya Beringin. Pembagian wilayah ini dilakukan di daerah yang kemudian dinamakan Jero Aru (Jero Baru). Kata "Jero" dalam bahasa Sasak kuno berarti "Pemimpin" atau orang yang menguasai suatu wilayah. Dalam pembagian wilayah ini diputuskan bahwa Sigar Penjalin ditempatkan di daerah Sembah Ulun (Sembalun) sebagai Raja dengan wilayah meliputi Lombok bagian Utara. Sedangkan Arya Waringin ditempatkan di Lombok bagian Barat dan Lombok bagian Tengah sebagai Raja dengan pusat di daerah Langko.
Kemudian Doyan Mangan/ Doyan Neda sendiri kembali ke Selaparang dan naik tahta menjadi Raja Selaparang. Selaparang sendiri dijadikan sebagai pusat semua kerajaan (kedatuan) yang ada di Lombok. dan Raja Selaparang menyandang gelar Dewa Meraja Kesuma. Penduduk Kerajaan Selaparang dari hari ke hari semakin bertambah banyak, seiring dengan semakin pesatnya perkembangan Kerajaan Selaparang. Raja Dewa Meraja Kesuma kemudian memerintahkan beberapa orang pemuka Kerajaan untuk mencari wilayah baru yang bisa dijadikan sebagai tempat pemukiman.  Raja kemudian meminta tiga bersaudara yang juga masih kerabatnya untuk mengemban tugas tersebut,  ketiga kerabat Raja tersebut adalah Patih Akar, Patih Cinis dan Patih Suliwangi.

Patih Akar kemudian bersama pengikutnya pindah ke daerah yang bernama Monggok yang saat ini lebih dikenal sebagai daerah Kelayu (Kelurahan Kelayu). Sedangkan kedua saudaranya yaitu Patih Cinis dan Patih Suliwangi membawa pengikutnya ke daerah bagian Selatan, yaitu sebuah daerah yang kemudian dinamakan Parwa (saat ini menjadi Peroa setelah ditempati masyarakat dari Suradadi dan Sakra). Tanah Parwa memiliki bentuk segitiga yang semakin ke ujung semakin mengecil (berbentuk Tirus), hal ini disebabkan tanah Parwa diapit oleh dua sungai (kokoq) yaitu sungai (kokoq) Sakra dan sungai (kokoq) Palung.

Patih Cinis dan Patih Suliwangi tidak lama menetap di Parwa karena menganggap tanah Parwa tidak cocok dijadikan sebagai tempat tinggal dan penduduk juga tidak bisa berkembang dengan baik. Maka dari itu Patih Cinis dan Patih Suliwangi membawa pengikutnya pindah ke daerah lain di dekat daerah Monggok yang merupakan daerah yang ditempati oleh Patih Akar dan pengikutnya. Adalah hal yang kebetulan atau memang hal yang disengaja ternyata tanah tujuan baru itu juga ternyata memiliki bentuk yang sama dengan tanah sebelumnya di Parwa, berbentuk segitiga (bentuk Tirus). Tanah ini juga diapit oleh dua buah sungai (kokoq) yaitu sungai (kokoq) Benyer dan sungai (kokoq) Belimbing, daerah baru ini kemudian dinamakan Nanot (Nanyot). 

Entah pemikiran apa yang melatar belakangi Patih Cinis dan Patih Suliwangi merasa perlu untuk pindah lagi ke bagian selatan Nanot (Nanyot) yang lokasinya lebih dekat lagi dengan daerah Monggok (Kelayu). Daerah ini pun berbentuk tirus karena diapit oleh dua sungai, yaitu sungai (kokoq) Belimbing dan sungai (kokoq) Tojang. Dikarenakan sudah tiga kali pindah tempat ke daerah yang berbentuk segitiga (bentuk Tirus), maka daerah ini dinamakan Teros. Jadi nama Teros diambil dari kata "Tirus" yang berarti bentuk segitiga yang semakin ke ujung bentuknya semakin mengecil. Di tempat inilah Patih Cinis dan Patih Suliwangi hidup agak lama, dan ditempat ini juga kemudian Patih Cinis dan Patih Suliwangi dikuburkan setelah wafat. Dalam perjalanan hidupnya Patih Cinis tidak memiliki keturanan, sedangkan yang memiliki keturanan adalah Patih Suliwangi. 

Dalam perkembangan selanjutnya kehidupan masyarakat di Teros berkembang sangat pesat dan merasa agak sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup, hal ini disebabkan oleh lokasinya yang diapit oleh dua sungai. Hal ini berdampak kepada masalah perekonomian penduduk khususnya jual beli  di pasar maupun menuju lokasi pertanian. Kesulitan ini disebabkan oleh dua sungai yang mengapit wilayah Teros terutama di musim penghujan, masyarakat merasa kesulitan menyeberang karena arus sungai yang deras. Guna mengatasi permasalahan ini satu-satunya cara adalah dengan mengajak seluruh penduduk Teros untuk pindah lagi ke wilayah Selatan yang dirasa lebih menguntungkan. 

Di daerah baru ini masyarakat membuat sebuah pegubukan (pemukiman) baru yang diberi nama gubuk (dusun) Selungkep. Setelah perpindahan ini lokasi pemukiman lama dijadikan sebagai areal pekuburan yang disebut kubur Teros/ kubur Reban. Kian lama penduduk Selungkep semakin banyak maka dibangunlah pemukiman baru yang dinamakan Gubuk Memontong, Gubuk Bebai, Gubuk Tuntang, Gubuk Apit Aik, Gubuk Kokoq Daya dan Gubuk Timbak. Masing-masing Gubuk dibentuk sedemikian rupa dengan dibatasi oleh gang disetiap blok, hal inilah yang membuat Dusun di luar Dusun Selungkep terlihat lebih rapi dan lebih tertata dengan gang yang lebih lebar.  Setelah berjalan sekian lama Gubuk Selungkep namanya kemudian dirubah menjadi Teros, agar namanya sama dengan nama pemukiman sebelumnya. 

Setelah berjalan sekian lama, kehidupan warga Teros di tempat baru nyaris tidak ada gejolak dan berjalan sebagaimana mestinya. Pada masa kepemimpinan Jero Sandi (sekitar tahun 1830_an) yang dianggap memiliki pemikiran yang lebih maju, maka seluruh Pegubukan itu disatukan menjadi sebuah Desa yang disebut Desa Teros (sebagaimana Desa Teros yang kita kenal sampai saat ini). Pada perkembangan selanjutnya Desa Teros diperluas menjadi beberapa Gubuk (Dusun) lagi seperti Kembang Kuning dan Loang Tuna. Saat ini ketiganya sudah mekar menjadi Desa Banjar Sari. Mata pencaharian masyarakat Teros dimasa itu adalah sebagai petani, wilayah pertaniannya cukup luas dan berbatasan langsung dengan beberapa Desa lain. Sebelah Timur berbatasan dengan Sisik (Labuhan Haji), Sebelah Selatan berbatasan dengan Gandor, dan sebelah Barat berbatasan dengan Monggok (Kelayu). 

Dibawah kepemimpinan Jero Sandi penduduk hidup makmur dan aman, hingga beberapa tahun kemudian. Kekacauan timbul di Desa Teros disebabkan oleh Kepala Desa Kelayu Jero Ratmaya yang meminta kepada Jero Sandi untuk menyerahkan tanah sawah yang ada di sebelah barat Desa Teros (kemungkinannya adalah daerah Kokoq Lauq Kelayu Selatan). Ternyata Jero Sandi menyerahkan begitu saja tanah sawah tersebut tanpa keberatan. Karena peristiwa tersebut sejumlah warga tidak puas dan menganggap Jero Sandi sedang dalam kondisi mabuk minuman keras saat menyerahkan tanah tersebut. Keputusan itu membuat beberapa pemuka masyarakat kecewa dan marah akan ulah Jero Sandi (Kepala Desa). Masyarakat yang tidak menerima keputusan tersebut akhirnya membuat rencana untuk membunuh Jero Sandi, dan pada peristiwa tersebut Jero Sandi langsung mati terbunuh. Pemuka masyarakat yang terlibat dalam pembunuhan tersebut akhirnya dihukum dengan dipindahkan ke wilayah yang sekarang bernama Dasan Sawe.  

Sepeninggal Jero Sandi terjadi kekosongan kepemimpinan di Desa Teros. Karena Desa Teros tidak ada yang memimpin maka dengan sendirinya Anak Agung Murah (*kemungkinan yang dimaksud adalah Raja Anak Agung Anglurah Gede Karangasem yang memerintah dari tahun 1870 - 1894) yang saat itu menjadi Raja Lombok meminta Jero Mengkudu yang saat itu menjadi Kepala Desa Labuhan Haji pulang ke Teros untuk menjadi Kepala Desa Teros. Tidak ada riwayat yang menjelaskan kenapa masyarakat Desa Teros tidak langsung mengangkat pemimpin sendiri sepeninggal Jero Sandi. Pada waktu itu Desa Labuhan Haji memilik penduduk yang sangat sedikit dengan tanah pertaniannya sangat luas. 

Setelah Jero Mengkudu wafat jabatan Kepala Desa Teros dipegang oleh anaknya yang bernama Jero Nursayang. Jero Nursayang ikut memimpin pemberontakan melawan pemeritahan Belanda di Sisik bersama dengan Kepala Desa yang lain yaitu: Mamiq Mustiasih Kepala Desa Gandor dan Jero Rawit Kepala Desa Apitaik. Mamiq Mustiasih meninggal di Toyang yang masuk wilayah Sakra, sedangkan Jero Nursayang, Jero Bajang Jambun (putera Jero Nursayang) dan Jero Rawit dibuang ke Banyuwangi Jawa Timur. Jero Nursayang wafat di Teros sekembalinya dari pengasingan di Bayuwangi, sedangkan puteranya Jero Bajang Jambun dan Jero Rawit Kepala Desa Apitaik wafat di Banyuwangi Jawa Timur. 

Desa Teros memiliki sejarah yang panjang dan harus diceritakan kembali ke generasi selanjutnya, agar generasi penerus Desa Teros tidak lupa akan sejarah asalnya dan semangat perjuangan para pendahulu. Desa Teros lahir dari untaian perjalanan panjang yang harus dibela sampai kapanpun, tentu saja dengan sama-sama mebangunnya untuk kehidupan anak cucu yang lebih baik. 

Selain bermukim di Teros, warga Teros juga banyak membentuk pemukiman baru di luar Teros, diantaranya adalah Dasan Tinggang dan Lendang Belo (Keluraha Kelayu Jorong), Erot dan Ketangga (Kelurahan Kembang Sari). Gunung Timba, Gunung Siup dan Dasan Gedang (Desa Denggen Timur), Batu Belek (Kelurahan Rakam), Kembang Kerang (Kec. Aikmel),  Karang Sukun Mataram, Dusun Golong Desa Beleka Lombok Tengah) dan Kembang Kerang Desa Aik Daerek Lombok Tengah.

Sumber: Amaq Mustirin/ Haji Nurhayat Muhsinin dan Hamidi (Guru SDN 3 Teros) dan berbagai sumber

Senin, 16 September 2019

Sejarah Kota Selong

Sejarah Berdirinya Kota Selong

Kota Selong merupakan ibu Kota Kabupaten Lombok Timur, salah satu Daerah Tingkat II di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kabupaten Lombok Timur memiliki luas wilayah 1.605,55 KM², dan secara geografis Kabupaten Lombok Timur terletak antara 116⁰ - 117⁰ Bujur Timur dan 8⁰ - 9⁰ Lintang Selatan. Nama Selong berasal dari bahasa Sasak yang artinya adalah tempat pengasingan atau penjara. Nama ini bukanlah tanpa dasar, karena Kota Selong pertama kali dibuka oleh penjajah Belanda sebagai tempat pengasingan bagi tawanan dari Desa Gandor dan Desa Teros. Untuk itulah di pusat Kota Selong ada Dasan Gandor (samping lapangan Nasional) dan Dasan Teros (tepat di Rumah Tahanan Selong). Sejarah berdirinya Kota Selong memang kental dengan kisah heroik para pejuang pada saat Belanda baru saja menguasai Lombok. Perang yang dalam sejarah Lombok dikenal sebagai "Perang Gandor". 
Masjid Raya Al Mujahidin Ikon Kota Selong (credit Bumi Nusantara blogspot)
Sejarah Perang Gandor
Meletusnya perang Gandor sebenarnya dipicu oleh hal sepele, dimana saat itu masyarakat melakukan sabung ayam tanpa izin. Pada peristiwa itu penjajah Belanda menangkap saudara laki-laki dari Jero Rawit yang saat itu menjadi pemimpin (kepala Desa) Apitaik. Jero Rawit merasa malu karena pihak Belanda memenjarakan saudara laki-lakinya. Hukuman itu dirasa sangat tidak adil dan sangat menyinggung kehormatannya sebagai pemimpin Apitaik. Oleh sebaba itu Jero Rawit merasa lebih baik mati atau memberikan malu yang seimbang kepada Belanda yang ada di Sisik (Ibu Kota Lombok Timur saat itu). 
Untuk mencapai maksud tersebut Jero Rawit meminta bantuan kepada Mamiq Mustiasih pemimpin Gandor dan Jero Nursayang pemimpin Teros. Jero Rawit juga meminta bantuan Lalu Talip (Mamiq Ocet) dari Mamelak (Praya), yang kebetulan sakit hati kepada Belanda karena merasa kecewa atas kebijakan Belanda tentang pengaturan dan penempatan personil di Mamelak (Praya). Lalu Talip merasa berjasa ketika perang menumpas kerajaan Mataram di Mayure, tetapi justru tidak mendapatkan kedudukan. Karena itulah bantuan yang diminta oleh Jero Rawit segera dipenuhi dengan mengirimkan pasukan ke Gandor di bawah pimpinan Mamiq Badil. 
Maka pada malam Sabtu 1 Muharam 1314 Hijriah bertepatan dengan 13 Juni 1896 markas Tentara Belanda di Sisik diserang dari arah Barat (Gandor). Pertempuran berlangsung selama beberapa hari sehingga pasukan di bawah pimpinan Mamiq Mustiasih mundur dan bertahan di Gandor. Dalam pertempuran terakhir Gandor akhirnya dibumi hangsukan oleh Belanda yang membuat pasukan perlawanan menjadi kacau balau. 
Peperangan akhirnya dimenangkan oleh pihak Belanda dan menangkap semua pemimpin perang termasuk Jero Rawit, Jero Nursayang dan anaknya Jero Bajang Jambun. Para pemimpin perang Gandor ini akhirnya dibuang oleh Belanda ke Banyuwangi Jawa Timur. Sedangkan Mamiq Mustiasih dan beberapa pasukan dari Gandor dan Teros bisa meloloskan diri ke Mamelak dan bergabung dengan Lalu Talip, dan pasukannya yang berhasil ditangkap diasingkan ke Hutan Selong. Mamiq Mustiasih meninggal dunia di Toyang (wilayah Sakra), Jero Nursayang meniggal di Teros sekembalinya dari Banyuwangi, Sedangkan Jero Rawit dan Jero Bajang Jambun (putra Jero Nursayang) meninggal di Banyuwangi. 
Pada tahun 1896 Belanda membuka hutan Selong dengan "tawanan" Perang Gandor sebagai penduduk pertamanya. Belanda kemudian menjadikan Selong sebagai Onder Afdeling Lombok Timur yang memrupakan tempat kedudukan Controuleur. Jadi bila dilihat dari sejarahnya maka Kota Selong pada tahun 2019 ini berusia 123 tahun. 

*Dari berbagai sumber 


Selasa, 02 Juli 2019

Bukit Nanggi

Bukit Nanggi 


Gunung Rinjani adalah salah satu daya tarik wisata yang ada di Pulau Lombok. Namun bagi yang mau merasakan jalur trekking yang pendek dan tidak mampu untuk mendaki Rinjani bisa mencoba mendaki bukit Nanggi yang berada di sisi timur Taman Nasional Gunung Rinjani. Bukit Nanggi masuk wilayah Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Semablun Kabupaten Lombok Timur, NTB. Bukit Nanggi merupakan salah satu bukit tertinggi di gugusan perbukitan Sembalun dengan ketinggian 2.300 mdpl, dengan jarak tempuh pendakian sekitar 4 - 6 jam perjalanan. Waktu tempuh tergantung kondisi fisik.

Suasana di puncak Nanggi

Perjanan akan dimulai dari perkampungan penduduk Desa Sembalun Bumbung dengan melewati kawasan ladang penduduk. Setelah berjalan sekitar 1 jam barulah kita akan merasakan sedikit sensasi mendaki dengan jalur yang agak menanjak. Kondisi jalur pendakian sangat bagus sehingga masih aman dilalui bahkan sambil membawa anak di bawah usia 6 tahun. Tentu saja dengan catatan harus ekstra pengawasan dan harus memegangnya di beberapa titik yang agak rawan. Disarankan untuk mendaki bukit Nanggi saat musim kemarau agar jalur tidak becek dan licin.

Jalur masih "ramah" untuk anak-anak
Melewati jalur ke bukit Nanggi pada musim kemarau usahakan membawa masker, karena jalan yang dilalui kering dan berdebu. Di bebrapa titik pendaki harus hati-hati karena jalur yang agak jelek dan terjal, jangan sampai terpeleset karena bisa berakibat fatal. Namun setelah sampai puncak bukit Nanggi perjalan akan terbayarkan akrena panorama dari bukit Nanggi yang memang sangat indah. Jika tiba di bukit Nanggi sebelum senja, maka deretan tenda para pendaki akan membawa keindahan tersendiri. 

Deretan tenda warna-warni di bukit Nanggi
Usahakan agar bisa sampai bukit Nanggi sebelum gelap, agar bisa menikmati suasana senja dan sunset yang indah. Biasanya ketika senja kondisi gunung Rinjani sudah diselimuti kabut sehingga tidak bisa terlihat. Mendaki bukit Nanggi harus membawa persediaan air yang banyak, karena kekurangan bukit Nanggi adalah tidak adanya sumber mata air yang bisa dimanfaatkan oleh pendaki. Kondisi bukit Nanggi pada malam hari akan sangat ramai, karena para pendaki banyak yang menghabiskan waktu sambil bernyanyi sepanjang malam. Pemasangan tenda juga harus betul-betul kuat dengan patok besi, karena angin malam biasanya agak kencang di bukit ini. 


Senja di bukit Nanggi

Saat senja gunung Rinjani memang tidak bisa terihat, tapi jangan khawatir pada pagi harinya semua akan terbayar. Gunung Rinjani akan menampakkan dirinya dengan sangat indah di pagi hari, disamping juga bisa melihat puncak Tambora di kejauhan sana di sebelah timur. 

Pagi di bukit Nanggi dengan view puncak Rinjani

View gunung Rinjani dan perkampungan penduduk dari bukit Nanggi

Yang saat ini menjadi masalah besar di bukit Nanggi adalah banyaknya sampah-sampah yang berserakan, terutama kertas-kertas bekas dari pendaki type "penulis pesan". Jadi jika berkunjung ke bukit Nanggi bawalah sampah anda turun sehingga tidak menambah tumpukan sampah yang sudah ada, karena disana memang tidak ada petugas kebersihan.

Salam Lestari...!!!


Minggu, 30 Juni 2019

Kampung Bena

Kampung Bena, Flores NTT



Kampung Bena merupakan salah satu kampung adat tertua di daratan Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kampung adat Bena masuk dalam wilayah Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada, NTT sekitar 19 KM dari Bajawa yang merupakan ibukota Kabupaten Ngada. Kampung ini terkenal karena masih mempertahankan adat istiadat bahkan rumah adat mereka. 

Kampung adat Bena dari sisi utara
Kampung adat Bena berada di kaki gunung Inerie yang sejuk sehingga menambah kesan alami pada kampung ini. Saat memasuki kampung ini kita akan melihat sisa-sisa zaman megalitikum dengan monumen batu-batu besar di beberapa sudut kampung. Bentuk kampung Bena memanjang dari utara ke selatan, memiliki satu pintu masuk di sebelah utara dan bagian merupakan ujung Desa yang terletak di ujung tebing terjal. Bagi warga Bena, mereka percaya bahwa di puncak gunung Inerie yang memiliki ketinggian 2.245 MDPL bersemayam Dewa Zata yang melindungi mereka. Petualang dan pendaki akan berdatangan ke gunung Inerie pada musim kemarau (Juli dan Agustus). 
Tugu batu peninggalan era megalitikum
Ujung Selatan kampung Bena dengan gunung Inerie di kejauhan
Kampung Bena memiliki sekitar 45 rumah yang saling berhadap-hadapan. Konon bangunan-bangunan yang ada masih sama dengan bangunan masa megalitikum lebih dari 1000 tahun lalu. Selain rumah adat kehidupan dan budaya masyarakatnya juga masih menjaga kearifan lokal dan hidup berbaur dengan alam.

Kapung Bena dari sisi Selatan
Berdasarkan informasi masyarakat setempat terdapat 9 klan yang tinggal di kampung Bena yaitu: Bena, Dizi, Dizi Azi, Wahtu, Deru Lalulewa, Deru Solamae, Ngada, Khopa dan Ago. Setiap klan hidup di tingkat yang berbeda, dengan klan Bena di tengahnya. Hal ini karena Bena dianggap sebagai klan tertua dan pendiri kampung, maka adalah hal wajar kemudian kampung ini disebut kampung Bena. Mereka berkomunikasi satu dengan lainnya menggunakan bahasa Ngadha. Dari segi agama masyarakat Bena beragaama Katolik, namun demikian mereka masih mengikuti kepercayaan kuno yaitu pemujaan leluhur, ritual dan tradisi. Masyarakat kampung Bena yang laki-laki bermata pencaharian sebagai petani, sedangkan yang perempuan kenbanyakan menenun kain di rumah.

Bena juga terkenal dengan kain tenunnya
Rumah pusat untuk laki-laki disebut " Sakalobo" yang dikenali dengan patung laki-laki memegang parang dan tombak yang ditempatkan di atas rumah. Sedangkan rumah untuk perempuan disebut "Sakapu'u". Kita juga akan menjumpai rumah yang dihiasi dengan tanduk kerbau, rahang ataupun taring babi hutan yang menunjukkan status sosial pemiliknya. 

Rumah dengan hiasan tanduk kerbau di depannya
Di tengah-tengah kampung Bena ada bangunan rumah kecil yang disebut Ngadhu dan Bhaga. Ngadhu melambangkan nenek moyang laki-laki, dimana Ngadhu adalah miniatur rumah dinaungi sebuah payung yang berdiri diatas pilar berukir. Akarnya harus memiliki 2 cabang yang telah ditanam pada sebuah upacara adat dengan darah babi atau ayam. 

Latar belakang Ngadhu dan Bhaga

Ngadhu yang strukturnya seperti payung raksasa
 Sedangkan Bhaga adalah simbol nenek moyang perempuan. Bhaga adalah rumah tradisional kecil yang siap menerima mempelai pria dari gadis-gadis kampung Bena yang dikawinkan dengan dengan orang luar. Setiap Bhaga memiliki ukiran sedangkan di atapnya ada senjata yang dimaksudkan untuk melindungi dari roh-roh jahat. Karena di kampung Bena ada 9 klan, maka di kampung ini ada 9 pasang Ngudhu dan Bhaga.

Bhaga yang mirip miniatur rumah
Jika mau berkunjung ke kampung Bena alangkah baiknya menginap di kota Bajawa, karena disana banyak hotel dan penginapan serta jaraknya juga tidak terlalu jauh dari Bena. Bagi yang datang dari kota Ende bisa turun di simpang Mataloko.

Salam Lestari,,,!!!


Senin, 17 Juni 2019

Gunung Tambora: Jalur Desa Pancasila

Tambora: Jalur Desa Pancasila 


Sejarah letusan Tambora
Gunung Tambora adalah gunung berapi strato aktif yang terletak di pulau Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat. Gunung ini meliputi 2 kabupaten yaitu Kabupaten Dompus dan Kabupaten Bima. Gunung Tambora terkenal dengan letusannya yang dahsyat pada 05 April 1815 yang konon dentumannya terdengar sampai Batavia (Jakarta) selama 15 menit dan membuat langit Jakarta gelap gulita sehari setelah letusan (Catatan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Stamfford Raffles dalam memoarnya The History Of Java). Raffles menulis ledakan tersebut sempat dikira ledakan meriam yang menyerang pasukannya di Yogyakarta. Pada tanggal 06 April 1815 sinar matahari tertutup dan "hujan abu" dalam jumlah kecil mulai menyelimuti Sulawesi dan Gresik. Konon letusan Gunung Tambora merupakan letusan gunung terbesar dalam catatan sejarah modern, yang juga sempat menggelapkan Eropa setelah letusan.

Kini Gunung Tambora menyisakan sebuah kawah vulkanik dengan diameter sangat besar yang menjadi salah satu daya tarik pendaki untuk mendakinya. 

Kawah Gunung Tambora


Untuk menuju puncak Gunung Tambora ada 2 alternatif jalur yang biasa dipergunakan, yaitu jalur Doro Ncanga bagi pecinta motor trail dan mobil offroad karena melewati padang savana dan jalur Desa Pancasila bagi para petualang yang menyukai trekking dengan hawa hutan tropis yang masih asri. Namun kali ini kita mencoba mengupas jalur Desa Pancasila yang lebih menantang karena jalur trekking yang lumayan panjang.

Perjalanan ke Desa Pancasila
Desa Pancasila merupakan Desa terkahir di kaki Gunung Tambora yang masuk wilayah Kecamatan Pekat Kabupaten Dompu. Jika kita datang dari arah barat maka sebelum Kota Dompu harus belok kiri di simpang Banggo, namun jika datang dari arah timur maka harus mengambil arah kanan di Simpang Banggo. Perjalanan dari Dompu ke Desa Pancasila memakan waktu sekitar 3,5 jam dengan kondisi jalan yang tidak terlalu ramai dan cenderung lengang.

Sebelum tiba di Desa Pancasila periksa terlebih dahulu kelengkapan logistik agar bisa mampir di pasar Kedindi untuk melengkapi kebutuhan logistik yang dirasa kurang. Perjalanan ke Desa Pancasila mungkin akan sedikit membosankan karena kondisi panas matahari yang terik dan berdebu, namun semuanya akan terbayar saat sudah memasuki Desa Pancasila yang sejuk. Memasuki Desa Pancasila dan gerbang pendakian, ada baiknya menitipkan kendaraan di rumah-rumah penduduk jika memang membawa kendaraan sendiri. Biasanya para pendaki menitipkan kendaraannya di rumah terakhir sebelum memasuki kawasan kebun kopi, yang merupakan titik paling dekat dengan pos pemeriksaan pendakian.

Foto Jalur Pendakian Gunung Tambora

Titik awal pendakian di Desa Pancasila

Perjalanan ke Pos 2
Jika kita sampai di Desa Pancasila siang hari, maka ada baiknya segera bergegas memulai pendakian agar tidak sampai malam di pos 2. Perjalanan akan dimulai dari gazebo pemeriksaan di kawasan kebun kopi milik masyarakat transimigrasi yang berasal dari beberapa daerah terutama transimigran dari Bali dan Lombok. Dari kebun kopi perjalanan akan memakan waktu sekitar 1,5 - 2 jam untuk tiba di pos 1. Perjalanan tidak terlalu melelahkan karena jalurnya agak landai dan hampir tidak ada tanjakan yang menguras banyak energi. Di pos 1 ada baiknya berhenti terlebih dahulu sambil mengisi botol minuman yang mungkin sudah mulai kosong.

Pos 1 Gunung Tambora

Jika istirahat sudah dirasa cukup perjalanan ke pos 2 akan dilanjutkan kembali, dimana kali ini jalurnya agak sedikit menanjak dan siap-siap merunduk melewati pohon tumbang yang rata-rata ukurannya sangat besar. Perjalanan dari pos 1 ke pos 2 memakan waktu sekitar 1 - 2 jam tergantung kondisi fisik dan kecepatan para pendaki. Kondisi pos 2 sama dengan pos 1 yang terdapat kali kecil sehingga tidak kesulitan untuk keperluan air minum maupun memasak. Walaupun waktu belum malam saat tiba di pos 2 sebaiknya ngecamp disini saja agar tidak kesulitan ke sumber air. Di pos 3 memang ada sumber air juga tapi tidak sedekat sumber air di pos 2.

Pos 2 Gunung Tambora


Menuju Base Camp Pos 4
Pagi hari setelah sarapan di pos 2 perjalanan menuju base camp pos 4 dimulai, kali ini kita harus hati-hati karena setelah pos 2 kita akan menjumpai banyak tumbuhan "Jelateng" yang terkenal dengan racunnya. Walaupun tidak berbahaya tapi lumayan membuat kulit terasa perih dan terbakar. Ada baiknya tidak sembarangan berpegangan pada semak-semak di sepanjang perjalanan agar terhindar dari rasa perih daun "Jelateng". Walaupun tidak seperih "putus cinta" tetap saja kita harus menghindarinya😂. Setelah melakukan perjalanan sekitar 2-3 jam kita akan tiba di pos 3 yang sejuk dan dan sayup-sayup terdengar suara aliran sungai dan burung-burung di kejauhan sana. Beristirahat lah sejenak sambil menikmati snack maupun segelas kopi untuk menghangatkan suasana.

Perjalanan menuju pos 3

Dari pos 3 menuju pos 4 juga tidak terlalu jauh karena perjalanan hanya memakan waktu 3 jam dalam kondisi santai sehingga sebelum sore kita sudah sampai di pos 4. Walaupun ada pos 5 yang lokasinya lebih dekat dengan puncak alangkah baiknya tetap ngecamp di pos 4 agar dekat dengan sumber air. Air di pos 4 tidak sejernih di pos 1 sampai pos 3, karena air di pos 4 hanyalah berupa genangan yang akan berubah warna menjadi keruh bahkan hijau jika naik di Bulan Agustus. Namun walaupun demikian masih layak untuk diminum maupun untuk memasak.

Suasana berkemah di pos 4 Gunung Tambora

Tiba di pos 4 jangan lupa untuk langsung mengambil air untuk keperluan memasak tim. Sambil menunggu malam kita bisa jalan-jalan ke bukit sebelah di saat senja untuk sekedar melihat matahari terbenam di balik pepohonan.

Senja di Pos 4 Gunung Tambora

Summit Attack
Dari base camp pos 4 menuju puncak Gunung Tambora memakan waktu 2,5 - 3 jam tergantung kondisi fisik pendaki. Summit Attack dimulai pukul 2.00 dinihari agar bisa sampai puncak sebelum matahari terbit (sunrise). Jangan lupa membawa bekal dan dan kompor sebagai pengganjal perut sambil menunggu matahari terbit di puncak Tambora. Perjanan tidak terlalu menanjak dan tidak terlalu menguras tenaga sehingga perjalanan akan terasa lebih mudah terutama bagi pendaki yang pernah merasakan Summit Attack di gunung dengan ketinggian diatas 3.000 MDPL. Waktu akan terasa sangat lambat saat menunggu kehangatan mentari yang muncul dari arah timur. Ada baiknya membawa kopi atau minuman jahe untuk menghangatkan badan agar tidak menggigil saat berada di puncak. 

Puncak Tambora 2.851 MDPL

Setelah puas menikmati pemandangan dari puncak Gunung Tambora, jangan buru-buru beranjak dulu. Pastikan semua sampah dari makanan maupun minuman sudah dimasukkan ke dalam katong plastik untuk dibawa turun kembali. Karena kita tidak boleh meninggalkan jejak apa-apa di puncak gunung selain jejak kaki.

Salama Lestari...!!!