Rabu, 29 Juni 2016

Navigasi: Bukit Kerandangan Menuju Hutan Pusuk

Membelah Bukit Kerandangan Menuju Hutan Pusuk
(Sebuah catatan perjalanan)

Bagi para pecinta alam atau penggiat alam bebas pengetahuan mengenai navigasi adalah sebuah keniscayaan agar tidak mudah tersesat di tengah alam yang begitu luas. Bahkan dalam setiap pendidikan kelompok pecinta alam materi navigasi diberikan porsi yang lebih mengingat begitu pentingnya pengetahuan navigasi. Ilmu navigasi dapat membantu menentukan posisi di permukaan bumi, sehingga bisa dipakai untuk mencari jalan ataupun membuka jalan baru di tengah hutan belantara sekalipun.

Saya akan sedikit mengupas perjalanan navigasi ketika melakukan survey medan untuk materi navigasi buat anggota baru Mapala_FE Unram angkatan tahun 2000. Angkatan tahun 2000 ini tergolong istimewa karena hanya di angkatan inilah ada beberapa calon anggota yang mengundurkan diri saat menerima materi pajat tebing di Gunung Pengsong. Bukan hanya itu saja angkatan 2000 ini juga adalah angkatan pertama yang bakalan melakukan navigasi darat di medan baru, sangat berbeda dengan angkatan sebelumnya atau setelahnya. Medan kali ini terbilang cukup panjang karena harus membelah 3 bukit yang terbentang dari dekat pantai Kerandangan Senggigi sampai bukit hutan Pusuk Gunung Sari.

Demi kelancaran pelaksanaan navigasi darat bagi anggota baru beberapa anggota akan dikirim ke Kerandangan untuk melakukan survey awal dan menentukan sudut "tembak kompas" menuju hutan Pusuk. Saat itu diputuskan 5 orang yang akan melakukan survey medan termasuk saya, Adi Gagap, Adi Kompor, Made Jobless dan Gede Simba. Rencana dan persiapanpun dilakukan H-1 sebelum tim survey berangkat termasuk peralatan navigasi, logistik dan sebagainya.

Keesokan paginya sekitar pukul 08.00 pagi kita sudah bersiap di Sekret Mapala_FE Unram dengan daypack dan peralatan masing-masing. Sesuai rencana pagi itu tim survey akan diantar ke kaki bukit Kerandangan memakai mobil Kijang milik kawan Oka (Terima kasih tumpangannya). Semua peralatan dan logistik dimasukkan dan dibagi ke masing-masing orang agar tidak berat di perjalanan.

Tepat pukul 09.30 kita sampai di kaki bukit Kerandangan dan diturunkan di halaman parkir depan sebuah bungallows yang kelihatan begitu sejuk. Tanpa banyak becanda lagi semua langsung menuju jalan setapak melewati kebun singkong milik warga untuk menentukan titik koordinat lokasi yang akan kita tuju. Kebetulan saya kebagian tugas untuk menghitung azimuth titik koordinat (sayangnya saya tidak menyimpan hasil perhitungan azimuthnya berapa). Sambil menghabiskan satu batang rokok kita semua becanda ringan sambil mengeluarkan golok masing-masing untuk menebas semak-semak yang mungkin akan menghalangi jalan.

Setelah penentuan azimuth titik koordinat ketemu kita mulai melakukan tembakan pertama sesuai azimuth yang sudah kita hitung, dan disepakati saat itu yang menjadi "juru keker" atau Navigator adalah rekan kita Adi Hendra alias Adi Gagap. Saat tembakan pertama kita sepakati memakai tanda alam di puncak bukit berupa kayu besar yang tinggi menjulang sehingga memudahkan dalam perjalanan. Memakai penanda alam di lokasi yang agak jauh merupakan tehnik navigasi agar perjalanan lancar dan tidak mengecek sudut lagi setiap akan melangkah. 

Tiba di pertengahan bukit barulah kelihatan "jeroan" bukit Kerandangan yang sebenarnya, selain agak kering bukit ini juga banyak ditumbuhi oleh berbagai jenis semak berduri sehingga agak menghambat pergerakan kami menuju pohon besar di atas puncak bukit. Disamping banyak semak berduri sepanjang jalan juga banyak kita jumpai sisa-sisa kulit ular yang sudah berganti kulit. Perjalanan harus cepat tapi tetap hati-hati menjaga langkah agar tidak menginjak duri ataupun binatang buas melata penghuni bukit. Salut dengan navigator kita karena saat pohon besar yang kita tuju sudah tidak terlihat karena tertutup semak yang mulai meninggi, dia keluarkan ilmu memanjatnya untuk manaiki pohon kecil untuk memastikan lokasi pohonnya. 

Ternyata jalur kita masih benar tapi harus menebas "hutan duri" yang ada di depan. Dengan sabetan seribu bayangan semua mulai membersihkan semak-semak berduri tajam agar bisa melangkah dengan aman. Sepertinya usaha kali ini gagal karena semaknya terlalu lebat dan luas, dan akhirnya disepakati membersihkan bagian bawahnya saja agar bisa melewatinya dengan cara merangkak alias tiarap atau "memperkosa bumi"  dalam istilah Upin Ipin. Setelah bersusah payah akhirnya hadangan semak berduri terlewati juga, tapi ternyata....setelah sampai di ujung baru kelihatan jika ada jalan lain yang lebih aman dengan memutari "hutan duri" tadi. Semua tertawa menghibur diri sambil membuka baju yang sudah mulai basah keringat, tapi setidaknya semua sudah merasakan bagaimana "memperkosa bumi"...Hehehe

Tepat saat tengah hari (sekitar jam 13.00 siang) akhirnya kita sudah sampai di pohon besar puncak bukit Kerandangan. Karena sudah haus dan kalori mulai terkuras akhirnya di putuskan untuk santai sejenak sambil menikmati nasi bungkus yang menjadi bekal kami. Tidak lupa semua becanda lepas sambil menghembuskan asap rokok masing-masing. Meski cuma berlima suasana cukup seru terutama saat giliran minum air mineral dari botol besar yang saya bawa. Saat giliran Gede Simba ternyata air dalam botol hampir habis "disedot" sendiri. Melihat kondisi seperti itu teman Made Jobles menyelutuk "sekarang Gede kita panggil saja paralon, karena dia sendirian minumnya paling banyak". Memang teman yang satu ini dari dulu terkenal suka habiskan jatah minum anggota tim yang lain. Saat itu sedang terkenal iklan pipa paralon "dimana air mengalir sampai jauh" tapi kalau yang ini "dimana air mengalir sampai perut". Nama paralon perlahan diganti menjadi singa dan menjelma menjadi Simba saat ada iklan tape recorder yang dibintangi group band Gigi. Disela-sela persiapan TR 4 di arena Budaya (kampus lama) akhirnya nama Simba resmi disandang di belakang nama teman Gede Sulyanala (Sorry Suryanala maksudnya). Hehehe PISS om Simba 

Lanjutkan perjalanan kembali, target berikutnyanya adalah menuju puncak bukit kedua yang lokasinya lebih rendah dari puncak bukit yang sudah kita lewati. Disepanjang jalan kita ramai becanda dengan julukan baru teman Gede agar selalu menghemat air minum selama perjalanan. Perjalanan terasa lebih ringan karena bekal dan persediaan air sudah hampir habis dan medan yang sudah agak menurun dan trek yang tidak terlalu menguras tenaga. Namun karena persediaan air yang sudah menipis membuat kita harus siap-siap ilmu survival agar bisa bertahan sampai menemukan sumber air.

Sampai di lembah setelah melewati bukit kedua akhirnya kita menemukan "kolam" kecil yang berisi genangan air yang lumayan jernih untuk ukuran sebuah genangan di tempat yang tidak bertuan. Tanpa banyak komentar lagi semua turun ke genangan air sambil memasuh muka yang sudah "hancur" kena debu dan terik sinar matahari. Plan kita akan ngopi di lokasi itu, dan seperti biasa teman Adi Kompor sudah siap dengan kompor gas andalannya beserta nesting untuk memasak air. Sambil menikmati snack terakhir dan merokok sepuasnya komporpun dinyalakan. Tapi hal buruk terjadi saat kompor sudah menyala dan air dalam nesting sudah dinaikkan. Sepertinya kompornya bocor sehingga menimbulkan nyala api besar yang tidak biasa, yang secara refleks membuat teman Adi Kompor langsung menyambar kompor tersebut dan membuangnya ke arah genangan air. Huuuuuuuuffff semua menahan nafas entah karena lega apinya sudah mati di dasar genangan atau merasa lacur karena gagal ngopi. Yang pasti secara spontan semua mata saat itu tertuju ke arah genangan sambil memperhatikan Adi Kompor yang dengan sigap mencabut tabung gas yang masih tertancap. Gagal sudah acara ngopi hari itu namun semua tertawa untuk menghibur diri, karena dirasa perjalanan juga sudah dekat dengan titik penjemputan.

Untuk mengganti acara ngopi yang gagal Adi Kompor membuka scraf merah maroon kebanggaannya untuk menyaring air yang ternyata agak keruh oleh sisa-sisa daun kering untuk dimasukkan ke dalam botol bawaan masing-masing. Saat airnya diminum ternyata rasanya lumayan enak "seperti ada manis-manisnya" plus sedikit asin dari sisa keringat om Adi Kompor (kurang rasa asam biar saingan sama permen nano-nano). Bagaimanapun juga semua tim survey saat itu  pernah mencicipi sisa-sisa keringatnya Adi Kompor. Setelah botol-botol diisi penuh kita sisakan 1 botol besar untuk diisi dengan Nutrijoss alias Nutrisari + Extra Joss. Untuk saat itu Gede Paralon bisa minum dengan sepuasnya tanpa ada yang menghalangi lagi (bila perlu habisin air genangannya om..Hehe).

Hari hampir sore ketika kita melanjutkan perjalanan melintasi bukit terakhir yang terlihat rimbun tertutupi pohon-pohon besar. Perjalanan di bukit terakhir terasa ringan karena rindang dan tidak terpapar matahari langsung serta efek Nutrijoss + asap rokok. Tepat sebelum jam 5 sore kita sudah tiba di rumah makan bukit Pusuk dan langsung mencuci muka sambil menikmati sejuknya air pegunungan. Sekitar 3 batang rokok menunggu tim penjemput akhirnya tiba. Kalau tidak salah yang menjemput saat itu adalah Oka dan Febri, sambil tidak lupa membawakan sedikit snack untuk mengganjal perut.

Karena dirasa medan terlalu panjang dan berat jalur ini tidak pernah dipakai kembali sebagai medan navigasi dan kembali ke medan awal di Karang Bayan menuju Sesaot.
 
 

Minggu, 19 Juni 2016

Danau Kelimutu



DANAU KELIMUTU

Danau Kelimutu adalah danau yang berada di gunung Kelimutu yang merupakan gunung berapi, gunung Kelimutu terletak di Pulau Flores, Provinsi NTT. Lokasi gunung ini tepatnya di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende. Gunung ini memiliki tiga buah danau kawah di puncaknya. Danau ini dikenal dengan nama Danau Tiga Warna karena memiliki tiga warna yang berbeda, yaitu merah, biru, dan putih. Walaupun begitu, warna-warna tersebut selalu berubah-ubah seiring dengan perjalanan waktu.

Berdasarkan informasi warga setempat Kelimutu berasal dari gabungan kata "keli" yang berarti gunung dan kata "mutu" yang berarti mendidih. Menurut kepercayaan penduduk setempat, warna-warna pada danau Kelimutu memiliki arti masing-masing dan memiliki kekuatan alam yang sangat dahsyat.


                                       Foto Danau Kelimutu dari atas pesawat

Danau atau Tiwu Kelimutu di bagi atas tiga bagian yang sesuai dengan warna - warna yang ada di dalam danau. Danau berwarna biru atau "Tiwu Nuwa Muri Koo Fai" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa muda-mudi yang telah meninggal. Danau yang berwarna merah atau "Tiwu Ata Polo" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang yang telah meninggal dan selama ia hidup selalu melakukan kejahatan/tenung. Sedangkan danau berwarna putih atau "Tiwu Ata Mbupu" merupakan tempat berkumpulnya jiwa-jiwa orang tua yang telah meninggal.

Danau yang paling dalam, sekitar 127 meter, disebut Tiwu Nua Muri Koo Fai (Danau Pemuda dan Gadis). Saat saya berkunjung, danau seluas 5,5 hektare itu tampak berwarna hijau lumut. Di bagian tenggara terdapat Tiwu Ata Polo alias Danau yang Mempesona sedalam 64 meter dengan luas 4 hektare. Danau itu diperkirakan menjadi salah satu sumber air bagi Sungai Ria Mbuli yang mengalir di Gunung Kelimutu. Hari itu sempat ada runtuhan tebing di lokasi danau ini sehingga menimbulkan bunyi dentuman yang cukup keras akibat material runtuhan yang jatuh ke air danau. Sekitar setengah kilometer dari puncak, terdapat Tiwu Ata Mbupu (Danau Orang Tua) yang saat itu berwarna hitam. Luasnya 4,5 hektare dengan kedalaman 67 meter.



             Danau Kelimutu

Luas ketiga danau itu sekitar 1.051.000 meter persegi dengan volume air 1.292 juta meter kubik. Batas antar danau adalah dinding batu sempit yang mudah longsor. Dinding ini sangat terjal dengan sudut kemiringan 70 derajat. Ketinggian dinding danau berkisar antara 50 sampai 150 meter.

Mitos Kelimutu
Di masyarakat sekitar Danau Kelimutu terdapat banyak mitos mengenai danau ini, berikut adalah beberapa mitos mengenai danau Kelimutu.

1. Danau yang dihuni roh
Tiga danau tersebut masing-masing bernama Tiwu Ata Mbupu, Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, dan Tiwu Ata Polo. Masyarakat setempat percaya, danau yang pertama dihuni oleh roh atau jiwa orang tua yang telah meninggal. Danau kedua dipercaya menjadi 'rumah' bagi jiwa muda-mudi. Sementara danau ketiga, konon dihuni arwah orang jahat.
Danau kedua adalah yang paling sering berubah warna. Konon karena dihuni muda-mudi, mungkin jiwanya masih menggelora, Mungkin kalau bahasa sekarang penghuninya adalah ABG labil. 


2. Berubah warna secara misterius
Ketiga danau tersebut bisa berubah warna secara misterius. Dari segi sains, terdapat satu jenis mineral dalam danau yang berubah sesuai kondisi geologis. Namun tak ada yang tahu pasti kapan danau-danau itu berubah warna. Konon sampai saat ini belum ada yang pernah melihat secara langsung proses perubahan warna tersebut
Berdasrkan cerita yang berkembang pernah satu kali, petugas Taman Nasional melihat danau setengah berubah warna pada siang hari. Tapi tiba-tiba kabut muncul, menutupi danau. Waktu kabutnya hilang, warna danau kembali seperti semula. Alias tidak jadi berubah. Perubahan warna danau Kelimutu sering dikaitkan dengan peristiwa besar yang akan melanda Indonesia.


3. Ditemukan oleh orang Belanda, berwarna merah-putih-biru
Danau Kelimutu konon ditemukan oleh orang Belanda bernama Van Such Telen, tepatnya pada 1915. Waktu itu dia memberitahu warga setempat, menemukan danau berwarna merah-putih-biru. Namun warga sempat tak percaya, karena itu adalah warna bendera Belanda.
Tapi ternyata informasi tersebut benar adanya, waktu pertama kali warga setempat melihat Danau Kelimutu berwarna merah, putih, dan biru. Di areal parkir menuju Danau Kelimutu juga terdapat bangunan yang sering disebut sebagai “Pesanggrahan Belanda”.



                                Gerbang masuk ke pesanggrahan Belanda

4. Roh pun diberi makan
Kepercayaan warga setempat yang menganggap adanya roh penghuni Danau Kelimutu tak sekadar jadi kepercayaan. Satu kali dalam setahun, masyarakat setempat 'memberi makan' para roh di ketiga danau lewat upacara Pati Ka Du'a Batu Ata Mata.
Ini adalah upacara pemberian sesaji kepada roh-roh penghuni Danau Kelimutu. Sesaji tersebut berupa sirih, pinang, rokok, nasi dan daging, diakhiri oleh arak/ tuak. (mungkin karena penghuninya muda-mudi ya makanya harus ada arak/ tuak)


5. Konon, airnya bening!

Terlepas dari aneka warna yang tampak pada Danau Kelimutu, pernahkah ada ilmuwan yang benar-benar meneliti warna asli danau tersebut? Konon pernah ada yang mengambil air dari danau tersebut, tapi warnanya bening.
Percaya atau tidak alam memang memang erat kaitannya dengan kepercayaan.

Akses Ke Danau Kelimutu
Danau Kelimutu terletak 54 kilometer di sebelah timur Kota Ende atau waktu tempuh sekitar 2 jam karena jalan yang dilalui adalah daerah pegunungan sehingga sepanjang perjalanan akan bertemu banyak jalanan berliku. Jika berangkat dari Kota Ende maka menyewa kendaraan mobil atau motor adalah pilihan untuk menuju kesana. Tapi kalau mau lebih dekat bisa memilih menginap di beberapa bungalows yang lokasinya dekat persimpangan masuk ke Danau Kelimutu tepatnya di Desa Moni. Tarif penginapan di Desa Moni masih cukup terjangkau yakni berkisar Rp 150.000 – 200.000. Dari Desa Moni bisa berangkat pagi-pagi agar bisa menikmati sunrise memakai ojek yang berdasarkan informasi dari warga sekitar tarifnya sekitar Rp 100.000,-.
Memasuki kawasan Taman Nasional Kelimutu pengunjung di wajibkan untuk melapor ke pos jaga Taman Nasional untuk registrasi dan membayar tiket masuk sebesar Rp 2.500 per orang. 
                                 Jalur ke Danau Kelimutu


Kendaraan bisa langsung di parker di areal parkir yang cukup luas dengan beberapa gazebo dan warung-warung penjual makanan dan minuman. Alangkah baiknya membawa sendiri makanan dan minuma agar biaya perjalanan tidak menjadi mahal.

                                Pintu masuk di depan lokasi parkir

Dari tempat parkir pengunjung akan berjalan kaki sekitar 30 – 40 menit untuk menunju puncak gunung lokasi untuk melihat ketiga danau tersebut secara sempurna. Di perjalanan sebelum tangga menuju puncak pengunjung bisa beristirahat sejenak menikmati udara sejuk pegunungan.
Usahakan sampai puncak gunung sesaat seblum matahari terbit agar bisa menikmati indahnya sunrise.


                                Sunrise di Danau Kelimutu

                Danau Kelimutu dari puncak





           



Kamis, 16 Juni 2016

Rinjani Tertutup di Bulan Januari - Maret



JANGAN MENDAKI RINJANI DI BULAN JANUARI – MARET
(Catatan perjalanan pribadi bersama teman – teman hebat)

Sebagai Gunung yang sering dikunjungi oleh pendaki dari seluruh Indonesia dan dunia, demi alasan keselamatan pendaki Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) melakukan penutupan jalur pendakian pada bulan-bulan tertentu. Penutupan jalur pendakian untuk umum ini dilakukan biasanya pada rentang bulan Januari sampai Maret karena pada bulan ini memasuki puncak musim penghujan. Tentu saja bagi para pendaki penutupan ini mengganggu jadwal pendakian yang mungkin sudah direncanakan sebelumnya.
Berkaca pada langkah penutupan jalur pendakian oleh Balai TNGR tersebut, saya dan beberapa teman anggota baru Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Ekonomi Universitas Mataram (MAPALA_FE UNRAM) pernah melewati masa-masa sulit saat pendakian di bulan Maret. Sebagai anggota baru yang masih berstatus calon anggota tetap harus mengikuti kegiatan Pelestarian Kawasan Gunung Rinajani atau bisanya disebut PELAWANGAN MAPALA_FE UNRAM agar dapat scraf biru muda kebanggaan dan menyandang nomor anggota. Sebagai anggota muda kami tidak tahu siapa yang memiliki ide untuk melakukan PELAWANGAN di bulan Maret, kami hanya mengikuti aturan dari para senior saat itu.
Sangat kebetulan sekali PELAWANGAN kali ini dilakukan di sela liburan Idul Adha, dimana Idul Adha waktu itu jatuh pada hari Kamis, 16 Maret 2000 (saat itu kuliah masih duduk di semester 4). Kami dibagi dalam beberapa tim dimana setiap tim terdiri dari 4 orang dan harus mempersiapkan sendiri segala kebutuhan pendakian, baik kebutuhan pribadi maupun kebutuhan tim. 

Keberangkatan dari Kampus Biru
Hari sabtu tanggal 18 Maret 2000 semua anggota tim PELAWANGAN berkumpul di sekretariat kebanggaan Mapala_FE di belakang bangunan kampus “biru” Fakultas Ekonomi Universitas Mataram. Sambil menunggu truck yang akan dipakai untuk mengangkut kami ke Sembalun, seluruh peserta diminta para senior untuk memeriksa peralatan maupun perbekalan masing-masing. 

                                Foto bersama sebelum keberangkatan
 
Pukul 10.00 pagi semua peserta diminta untuk naik kendaraan dengan terlebih dahulu manaikkan tas “carrier” masing-masing yang sudah ditentukan ukurannya, untuk peserta cewek tas ukuran 65 liter dan untuk cowok minimal 90 liter. Dengan gaya masing-masing semua peserta naik kendaraan sambil saling menukar gelang warna-warni dari tali prusik yang saat itu begitu tren dikalangan anak-anak pecinta alam. (Hehehe...gaya lama) 

Perjalanan ke Sembalun
Setelah melewati daerah Aikmel turun hujan yang cukup lebat, dan memaksa kami untuk berbenah dengan menutup bagian atas truck memakai terpal yang hanya bisa menutup setengan bagian saja. Peseta laki-laki termasuk saya tidak peduli hujan dan memilih mandi hujan di atas mobil truck. Adrenalin lumayan terpompa saat melewati jalan menanjak di kawasan hutan pusuk, bahkan 2 kali melewati daerah longsoran yang menutupi badan jalan. Dalam hati berdo’a semoga diberikan keselamatan dengan kondisi medan seperti ini.
Tiba di pos jaga TNGR Sembalun hujan semakin deras dan tidak ada tanda-tanda untuk berhenti. Sambil menunggu proses registrasi di Balai TNGR kami beristirahat sejenak sambil menikmati nasi bungkus yang dibeli di pasar Aikmel. Proses registrasi lumayan agak lama kamungkinan karena faktor cuaca, yang tahu saat itu hanya para senior saja (angkat topi buat para senior).

Perjalanan ke Pos 2 Tengengean
Selesai proses registrasi di Balai TNGR semua peserta dikumpulkan untuk pemberangkatan dan do’a bersama, dan saat itu salah seorang anggota Polisi Hutan Tanaman Nasional Gunung Rinjani nyeletuk hampir berbisik bertanya “apakah pendakian ini ada asuransinya ?”. Sebuah pertanyaan yang saya kira cukup aneh, dan dengan spontan menjawab “mana ada anak Mapala punya asuransi”. Sebuah jawaban yang membuat polhut tersebut nyengir dan geleng-geleng kepala.
Ditengah guyuran hujan yang semakin deras satu persatu tim dilepas oleh para senior dengan pendamping masing-masing tim 1 orang senior. Jarak pandang saat itu sangat terbatas hanya bisa melihat sekitar 2 meter saja ke depan sehingga membuat beberapa teman termasuk saya menubruk teman sendiri yang sedang berhenti untuk sekedar menarik nafas. 
Perjalanan yang betul-betul mencekam karena udara juga semakin dingin, suara canda yang sebelumnya ramai dan bersahutan kini sudah hilang. Yang ada hanya suara nafas dan gemelatuk gigi yang kadang terdengar keras karena berusaha melawan dingin. Tiba di shelter Pos 1 hujan sudah agak reda dan  beristirahat sejenak sambil makan snack yang dibawa, semua peserta basah kuyup karena ponco yang dipakai terbagi untuk menutupi tas carrier agar tidak basah dan makin berat. Di tempat ini suasana sudah mulai agak gaduh karena canda dan saling olok-olokan antar peserta, ada yang bilang “muka ber*k” dll melihat kondisi teman masing-masing.
Melanjutkan perjalanan dari pos 1 ke pos 2 Tengengean dari kejauhan sudah tampak samar-samar matahari sore tersenyum malu-malu dari balik awan. Kondisi yang cukup kita syukuri saat itu untuk sedikit menghangatkan badan yang sudah basah kedinginan. Teman-teman sudah ada yang kelihatan membakar rokok sambil sesekali becanda menghibur diri dan tim.
Tiba di pos 2 Tengengean cuaca sudah betul-betul terang dan warna jingga sunset terlihat di ujung langit sebelah barat. Kami tiba dengan riang langsung mendirikan tenda dan mengambil air untuk membuat kopi dan persiapan makan malam. Saat itu peserta tidak ada yang fotoan karena sefie apalagi tongsis belum tren seperti saat ini. Semua larut bekerja dengan tugas masing-masing untuk memenuhi kebutuhan semua anggota tim.

Bermalam di Tengengean
Selepas magrib dan makan malam rata-rata anggota tim mengurung diri dalam tenda untuk sedikit menghangatkan badan, hanya terdengar suara para senior yang bercanda sambil sesekali tertawa lepas. Ketika sedang enak-enak mengobrol dengan teman-teman 1 tim, tiba-tiba dikejutkan oleh suara seperti memukul pintu tenda dari luar. Saat pintu tenda dibuka ternyata itu adalah teman Salim Pujiadi yang mengajak nikmati malam sambil ngopi bareng dan segera bergegas mengambil kompor gas miliknya. Cuma dia yang memiliki kompor gas bagus karena dia bawa dari Jakarta, tidak seperti kita kebanyakan yang masih memakai kompor paraffin dan kompor spritus hand made dari kaleng bekas minuman bersoda (ente memang “lites” saat itu heb). Malampun berlalu dengan mimpi indah masing-masing dan sesekali terdengar suara batuk dari tenda sebelah.

Menuju Pelawangan Sembalun
Malam berganti pagi dengan semburat merah di ufuk timur yang tampak malu-malu dibalik awan hitam, semua tim memulai aktifitas dengan mengambil air untuk keperluan persiapan sarapan. Tidak lupa juga dikasih sarapan push up dari beberapa senior untuk menjaga kebugaran agar tetap kuat memikul tas masing-masing. Matahari terbit memberi seberkas kehangatan yang walaupun tidak maksimal karena terhalang awan, tapi tetap saja membuat pagi itu terasa indah dan hangat.

Tepat pukul 08.00 pagi rombongan berangkat dengan tim masing-masing menuju Pelawangan, langit sudah mulai tertutup awan membuat perjalanan terasa lebih “cool” karena tidak terpapar sinar matahari yang menyengat. Jalur yang dipakai adalah classic road “Bukit Penyesalan” yang sangat legendaris. Turun ke kali mati ternyata sudah menunggu beberapa orang senior yang menjadi tim leader mengajak kita semua beristirahat sambil membuka bekal snack dan meneguk air minum sekedar untuk membasahi tenggorokan yang sudah mulai kering. Karena musim penghujan kali mati dialiri air walaupun dengan volume sangat kecil yang tidak sebanding dengan lebarnya.
Jalur bukit penyesalaan adalah jalur lama yang jika dilihat dari jalur “Bukit Penyiksaan” atau pada balong adalah jalur yang bukitnya seperti huruf “Z” karena kondisinya yang zigzag. Jalur ini sudah sangat jarang dilalui oleh para pendaki karena menganggapnya lebih panjang.

Merasa nafas sudah lebih ringan perjalananpun dilanjutkan kembali dengan target harus mencapai Pelawangan sebelum sore hari. Namun kondisi alam tidak mendukung untuk berjalan cepat, sehabis jalur “Z” tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat disertai kabut. Semua tim berhenti untuk mengeluarkan ponco untuk sekedar menutup carrier masing-masing agar tidak basah dan menjadi lebih berat karena air hujan. Hawa dingin dan kabut membuat jarang pandang semakin pendek menambah mencekam suasana. Dengan nafas yang sudah mulai berat dan udara yang semakin dingin, senior akhirnya mengajak untuk istirahat sejenak di “cemara tumbang”. Di tengah guyuran hujan dan cuaca dingin terbayang kopi dan beberapa batang rokok yang tentu saja tidak bisa kita nikmati saat itu. Lengkap sudah penderitaan kita di hari itu…..

Memasuki bukit terakhir “the real bukit penyesalan” hujan sudah agak reda, dan gundukan tanah menjulang tinggi dan tandus terlihat dengan jelas di depan mata. Rombongan berhenti sejenak untuk mengatur nafas dan beberapa peserta sudah ada yang mulai terlihat pucat menahan dingin, peserta laki-laki tidak membuang kesempatan. Tanpa komando semua mengeluarkan rokok dan pematik api masing-masing, akhirnya saat yang ditunggupun tiba bisa menikmati kepulan asap rokok. Walaupun secara teori akan mebuat nafas semakin berat tapi tidak ada yang mengalahkan nikmatnya merokok saat itu. Hembusan asap rokokpun bercampur dengan hembusan uap dari nafas masing-masing karena hawa dingin.

Beberapa peserta yang memperlihatkan gejala akan “tumbang” segera di dampingi oleh senior-senior yang perkasa (hidup senior…hehe). Kondisi saat itu sudah sangat berat tapi perjalanan harus dilanjutkan ke base camp Pelawangan, setapak demi setapak akhirnya kaki dilangkahkan juga. Tidak jarang terdengar teriakan “rock” dari peserta di atas untuk mengingatkan teman yang berada di bawah jika ada batu yang jatuh dari bekas pijakan kaki peserta lain. Kondisi bukit penyesalan memang tandus terbentuk dari tanah dan batu-batuan yang sedikit labil sehingga rawan timbul runtuhan batu-batu sebesar kepalan tangan. Hampir mencapai puncak bukit penyesalan hujan dan kabutpun mengguyur dengan sangat deras membuat langkah kaki dan nafas semakin berat. Ditengah kabut akhirnya terlihat juga tim leader yang sudah menunggu di bawah pohon cemara bukit penyesalan.

Kengerian sesungguhnya terjadi saat tiba di hutan cemara yang disana ada kuburan pendaki yang meninggal dunia, karena kondisi hujan sangat lebat dan kabut dingin yang semakin menyengat beberapa peserta sudah mulai terlihat sempoyongan. Korban pertama pun jatuh, teman anggota baru yang bernama Maya saat itu jatuh dan tidak bisa melanjutkan perjalanan. Beberapa senior kemudian mendampingi Maya dan sebagian lagi tetap mengawal peserta lain menuju Plawangan. Saya pribadi saat itu sudah hampir tumbang juga karena telapak kaki sampai pergelangan mata kaki sudah kaku dan mati rasa. Terbayang saat itu cerita mengenai pendaki-pendaki yang harus memotong organ tubuhnya agar dingin tidak menjalar ke bagian tubuh yang lain.

Dengan sisa tenaga saya berusaha bergegas secepatnya agar bisa mencapai Pelawangan dan mendirikan tenda, ditengah guyuran hujan dan deru nafas yang semakin berat. Memasuki Pelawangan hujan sudah reda dan akhirnya tenda yang saya bawa dikeluarkan untuk didirikan bersama tim yang lain. Kondisi kaki yang dingin dan mati rasa membuat saya cepat-cepat masuk tenda dan saat itu disamping saya sudah ada sepatu kets warna putih campur biru yang entah punya siapa. Tanpa basa-basi kaki saya masukkan di kets tersebut agar lebih hangat sambil duduk memejamkan mata bersandar di sisi carrier. Tanpa terasa saya tertidur dan baru terbangun setelah ada cahaya mentari sore yang masuk di celah pintu tenda yang memberikan sedikit kehangatan. Keluar tenda suasana sepi tidak ada canda lagi semua larut menikmati pemandangan alam di depan mata sambil menghembuskan kepulan asap rokok. Entah semua masih terbayang dingin air hujan diperjalanan tadi atau sudah tidak ada tenaga sehingga selera humor masing-masing seakan sirna.
Sorepun kita lalui dengan membereskan barang masing-masing sambil memasak air untuk sekedar membuat minuman hangat. Beberapa peserta termasuk saya turun mengambil air untuk keperluan memasak tim. Beberapa senior mendirikan tenda terpisah untuk mengamankan Maya yang saat itu sudah “on” karena kesurupan dan dikhawatirkan menular ke peserta lain.

Malam Mencekam di Pelawangan Sembalun                                                       
Karena kondisi Maya sudah kesurupan para senior memberikan arahan untuk segera melakukan sholat magrib bagi yang muslim dan berdo’a menurut keyakinan masing-masing bagi yang non muslim. Sehabis menyiapkan makan malam sekitar pukul 19.00 malam suasana betul-betul semakin mencekam karena dari kejauhan terdengar suara angin kencang yang meniup daun-daun cemara seperti suara siulan yang bersahut-sahutan. Tenda sesekali bergetar karena tertiup hembusan angin malam yang begitu kencang, dan ditengah suasana seperti itu muncul teman mengajak untuk ngopi bareng. Biasa teman itu adalah Salim Pujiadi dengan kompor gasnya, saat itu saya dan teman satu tim Opik Padang candain “ajak ngopi tapi kok tidak bawa kopi” yang spontan disambut dengan gelak tawa teman-teman yang lain. Dengan enteng teman Salim Pujiadi menjawab “yang penting kan saya sediakan kompor”, tiba-tiba ada suara celetukan “bener-bener dah ini hanya modal kompor doang”. Entah siapa yang memulai akhirnya sejak candaan itu Salim Pujiadi memiliki panggilan baru “Adi Kompor” karena selalu membawa kompor gasnya setiap ada acara ngopi bareng (PISS om Salim Pujiadi).

Tiba-tiba suasana dikejutkan oleh teriakan dari tenda sebelah yang ternyata berasal dari Mbak Aline Novita (turut berduka cita atas meninggalnya ayahanda Mbak Aline semoga diberika tempat terbaik di sisiNYA), Aline ternyata sudah dalam kondisi “on’ juga karena kesurupan. Beberapa peserta muslim mulai membacakan do’a dan ayat kursi, sebagian lagi manahan kaki dan tangannya yang terus meronta bahkan memukul rekan lainnya. Beberapa kali Aline berteriak dan meronta-ronta dengan keras, yang membuat 6 orang yang memegang kaki dan tangannya menjaadi kewalahan. Entah mendapat kekuatan dari mana Aline betul-betul perkasa malam itu sampai saya sendiri dapat “bonus” tendangan di bagian dada saat mencoba menenangkan dengan memegang kakinya.
Setelah agak tenang Aline bercerita jika dari kejauhan dia melihat ada bangunan gazebo yang begitu indah di atas gunung baru jari, kebetulan malam itu gunung baru jari kelihatan sangat indah diterpa cahaya temaram bulan yang hampir purnama. Aline menceritakan di gazebo tersebut ada 2 orang cowok yang sedang tidur memakai celana warna cream tapi tidak tahu apakah masih hidup atau sudah mati. Bulu kuduk saya merinding karena teringat dengan 2 orang pendaki asal Bandung yang hilang saat mendaki pada tahun 1998 yang sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Malam itu kita hanya bisa mendengar cerita-cerita aneh yang keluar dari Mbak Aline yang sedang “on”.

Mungkin karena sudah capek akhirnya Aline tertidur dan peserta laki-laki bisa bernafas lega karena bisa bersantai sejenak sambil merabahkan badan di dalam tenda masing-masing. Malam itu betul-betul mencekam tidak ada suara canda tawa yang selalu menemani di saat-saat bersantai di atas gunung. Semua diam dan larut dengan pikiran masing-masing diiringi suara angin yang menderu.
Memasuki tengah malam kami dikejutkan oleh suara teman Febriansyah yang saat itu menjadi senior juga walaupun satu angkatan masuk kuliah tapi duluan masuk MAPALA_FE. Dari informasi Febri diketahui jika Aline mau “pipis” atau BAK yang tentu saja sangat berbahaya dalam kondisi saat itu. Akhirnya semua laki-laki diminta buat formasi melingkar sambil memgang ponco masing-masing agar terlindung dari penglihatan orang saat BAK. Semua sudah di posisi dengan ponco masing-masing menghadap ke belakang tiba-tiba Aline yang sudah di posisi tengah-tengah melompat tinggi menembus lingkaran ponco yang melindunginya. Semua heran dengan tubuh yang lumayan besar (PISS Mbak Aline) ternyata bisa melompat begitu tinggi. Jantung seakan berhenti berdetak melihat Aline melompat ke arah bibir jurang, tapi beruntung saat itu Febri dengan gerakan seperti “Superman” melesat cepat dan menagkap tubuh Aline hingga terjatuh berguling di tanah. Huuuuuuufffff semua menghela nafas lega karena melihat Aline bisa dipegang oleh Febri diiringi gerakan spontan beberapa teman yang berdekatan untuk memegang kaki dan tangannya agar tidak meronta. 

Saat situasi sudah bisa dikendalikan dan Aline dimasukkan ke dalam tenda dengan tetap dijaga oleh peserta laki-laki sambil membacakan do’a. Sungguh malam itu menjadi malam yang sangat religious untuk pendakian anak-anak MAPALA_FE UNRAM.  Agak lama tediam akhirnya Aline membuka suara jika di bawah sana dia ditunggu oleh 2 orang cowok yang “dilihatnya’ berada di gazebo gunung baru jari. Katanya kedua cowok itu ganteng dan berkulit putih (pantesan ingin lompat ternyata melihat 2 orang cowok ganteng)…Hehehe

Sampai menjelang subuh semua terdiam sambil tiduran ala kadarnya tidak tahu apakah semua bisa tertidur atau pura-pura memejamkan mata karena kejadian tadi. Rencana ke puncak Rinjani akhirnya tidak jadi karena faktor cuaca dan kondisi beberapa peserta yang tidak memungkinkan untuk dibawa ke puncak. Mungkin selama PELAWANGAN MAPALA_FE baru tahun 2000 itu saja semua peserta tidak ada yang ke puncak. 

Lambat namun pasti pagipun datang dengan berkawan mendung, tidak ada sinar mentari hari itu dan semua keluar tenda dengan lesu karena kurang tidur. Dalam kondisi apapun hari harus kita lalui dengan mempersiapkan menu sarapan paling enak agar memiliki cukup tenaga untuk turun ke danau Segara Anak. Namun ketenangan di pagi itu sirna oleh teriakan rekan Bey yang meronta-ronta di iringi teriakan dari Aline di tenda sebelah. Bertambah lagi korban kesurupan hari itu yang membuat semua peserta laki-laki bergegas membagi diri untuk menenangkan Aline dan Bey. Kali ini suasana sedikit gaduh karena ada 2 korban lagi yang berteriak dan meronta, suara do’a dan lantunan ayat Al_Qur’an pun berkumandang untuk membantu menenangkan korban.

Betul-betul hari yang berat buat semua peserta dan senior karena sebelumnya tidak pernah menemukan kondisi kacau seperti ini, yang kita tahu hanya materi P3K Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan bukan Pertolongan Pertama Pada Kesurupan. Semua dihadapkan pada kondisi diluar ekspektasi dan nalar yang ada, mau tidak percaya namun hal-hal aneh itu sudah kita hadapi di depan mata. Walluhu A’lam Bisshawab

Turun ke Danau Segara Anak
Menjelang siang sekitar jam 10.00 para senior meminta membereskan lokasi camping dan prepare menuju ke Segara Anak. Hari itu matahari tidak terlihat karena ada awan hitam yang menutupi seluruh rongga langit, dengan semangat kita semua membersekan lokasi. Perserta laki-laki dibagi untuk menjaga korban kesurupan yang saat itu sudah mulai tenang dan mau melanjutkan perjalanan.
Langkahpun dimulai dengan semangat agar bisa sampai danau Segara Anak sebelum sore, setapak demi setapak akhirnya sampai juga di turunan berbatu yang lumayan terjal. Hujan mulai turun menambah berat perjalanan karena harus ekstra hati-hati berpijak pada jalan berbatu yang kadang-kadang membuat langkah terpeleset. Harus tetap menjaga langkah dan keseimbangan agar tidak terjatuh dan terperosok ke tebing batu yang lumayan curam. Perjalanan terasa sangat lama karena harus mengawal korban kesurupan agar tidak “on” lagi di tengah perjalanan. Beberapa teman dan senior mengajak istirahat sejenak sambil mengambil nafas dan korban kesurupan selalu diajak ngobrol agar fikirannya tidak kosong dan melayang kemana-mana. Sesuai instruksi korban harus selalu dijaga agar tetap fokus sehingga tidak ada ruang kosong dalam otak yang bisa dimasuki fikiran lain, entah siapa yang memiliki teori seperti itu tapi memang efektif bisa membuat korban tidak “on” lagi.

Sehabis kali mati perjalanan menjadi terasa lebih santai karena hujan sudah reda meskipun masih ada gerimis tipis yang turun. Para senior mengajak istirahat sejenak sambil membuka bekal snack masing-masing untuk menambah kalori yang sudah lumayan banyak terkuras. Di tempat ini baru diketahui ternyata teman kita Tanzier drop dan sakit, sesekali terdengar candaan dari para senior agar suasana lebih cair dan rileks. Peserta laki-laki tidak membuang kesempatan untuk melakukan ritual bakar rokok bersama karena sepanjang perjalanan tidak bisa menyalakan api akibat guyuran hujan.

Dengan semangat baru dan medan yang sedikit lebih mudah disbanding medan sebelumnya, perjalananpun dilanjutkan. Kondisi baju yang basah membuat tubuh terasa dingin dan irama gemelatuk gigi menahan dinginpun terdengar bersahut-sahutan. Dalam perjalanan ini kebetulan bertemu rombongan pendaki tradisional dari kampung setempat, dari hasil obrolan dengan salah seorang senior ternyata orang tersebut menyarankan agar tidak terlalu lama menginap di danau. Karena berdasarkan informasi yang didapatkan saat itu semua “penghuni” Rinjani sedang melakukan upacara, yang tentu saja kita semua tidak tahu upacara apa yang dimaksud. Kita diminta untuk berhati-hati selama di danau yang menimbulkan berbagai macam pertanyaan di benak kami. Perjalananpun tetap dilanjutkan dan tepat sesuai target sebelum sore akhirnya semua sampai danau segara Anak dengan selamat tanpa kurang suatu apapun juga.

Kondisi danau sedang sepi pengunjung hanya rombongan kami, rombongan pemancing dari kampung setempat dan baru esok harinya datang satu rombongan anak SMA dari Praya yang salah satunya bernama Nanang. Diketahui kemudian hari Nanang ini lebih dikenal sebagai Nanang Ceper setelah ikut bergabung dengan korps Mapala FE (PISS pengantin baru). Di danau semua tim menyiapkan menu makan siang andalan “mie instan” siap santap setiap saat, karena Cuma menu itu yang paling cepat bisa dinikmati.

Mengisi waktu sore sebagian besar peserta turun ke arah pemandian air panas “Cikar Rarat” tapi yang dituju adalah tingkatan terakhir di bawah yang airnya tidak terlalu panas. Kami merasa tidak sanggup untuk melakukan ritual mandi air panas di tingkatan pertama saking panasnya. Yang penting tubuh bisa dibersihkan dari sisa air hujan dan bisa menghangatkan tubuh yang berselimut baju basah sepanjang perjalanan selama 3 hari. Mandi air hangat alami berjalan dengan seru sambil mencuci pakaian basah sisa perjalanan sebelumnya. Habis mandi semua kelihatan lebih rapi dan wangi, tidak seperti hari sebelumnya yang rata-rata bau apek karena air hujan.

Malam Sunyi di Danau Segara Anak
Sorepun beranjak pergi berganti senja dengan sedikit gelap yang mengikutinya, berdasarkan informasi para senior sedang menunggu senior Ojie (Pak Haji Fauzi) yang naik bersama rombongan dari Senaru. Saat Magrib terdengar teriakan histeris dari tenda lain, semua bergegas ke sumber suara ternyata di dapati teman Oppie Dance (panggilan akrab ibu Saufi Haswinda..PISS) sedang dalam kondisi ‘on” karena kesurupan. Dari 5 anggota baru yang cewek 4 orang sudah “terkontaminasi” kesurupan. Senior Ojie yang saat itu baru sampai danau langsung membacakan do’a karena beliau memang dikenal paling religius diantara semua senior, maklum seorang “pemanjat”. Dari pemanjat tebing sampai pemanjat do’a kira-kira begitu candaan senior lain untuk senior yang satu ini. Oppie Dance pun menjadi lebih tenang setelah dibacakan do’a, tapi oppie yang dalam kondisi kesurupan mengatakan “penghuni Rinjani minta semua bunga edelweiss yang dipetik dikembalikan ke tempatnya”. Sepertinya omongannya Oppie membuat beberapa orang teman yang mengambil bunga edelweiss sepanjang perjalanan turun menuju danau ketakutan dan diam-diam membuangnya di antara semak-semak. Kalau tidak salah waktu itu yang langsung membuangnya adalah teman Indro DKI dan Halomoan. 

Karena hari sudah magrib senior Ojie meminta semua peserta muslim untuk mengambil air wudhu untuk sholat magrib dan peserta agama lain berdo’a sesuai kepercayaan masing-masing. Saya kebagian tugas untuk mengumandangkan azan sholat, sesuatu yang belum pernah saya lakukan sebelumnya (agak grogi juga karena suara merdu saya di dengar semua orang…Hehe). Sholat magrib berjalan dengan khusuk dan khidmat dan dari kejauhan terdengar lagi teriakan histeris dari Oppie Dance, tapi acara do’a bersama tetap dilanjutkan dipimpin oleh senior Ojie.

Sehabis do’a bersama semua peserta muslim mendekat ke tendan timnya Oppie dan membacakan do’a, tapi secara spontan Oppie nyeletuk minta dibacakan Asma’ul Husna oleh senior Ojie. Kala itu memang hanya senior Ojie yang betul-betul hafal nama-nama indah Allah dalam Asma’ul Husna. Permintaan pun dituruti dengan membacakan Asma’ul Husna satu persatu dengan merdu, ditengah proses pembacaan Asma’ul Husna Oppie tertawa dan mengatakan “penghuni Rinjani tertawa dan minta dibacakan ulang”. Saya lupa pada bagian mana yang minta di ulang waktu itu.

Ternyata Oppie tidak berhenti berbicara sampai disitu, banyak omongan yang tidak masuk akal yang keluar dari mulutnya yang sedang kesurupan. Dia mengatakan bahwa di tengah danau ada masjid besar yang begitu indah dan seseorang memanggilnya untuk pergi sholat kesana. Katanya dia melihat ulama besar Lombok yang sudah meninggal dunia sedang memimpin sholat dan diikuti oleh banyak jamaah. Dia juga mengatakan jika di atas gunung baru jari ada istana besar yang tidak kalah indahnya dan tidak pernah melihat bangunan seindah itu sebelumnya. Malam itupun dilalui hanya dengan mendengarkan cerita-cerita aneh yang diucapkan oleh Oppie membuat malam terasa berjalan sangat lamban.

Pagipun datang dengan menyisakan sedikit rasa berat di kelopak mata karena kurang tidur, namun hari harus berjalan dengan schedule yang sudah disiapkan untuk mandi sauna ke Goa Susu. Para korban kesurupan juga sudah bisa beristirahat dengan normal dan bisa tersenyum dengan manis. Hari itu berjalan dengan normal tidak ada lagi kejadian-kejadian aneh, sehabis sauna ke Goa Susu semua bisa beristirahat dan bercanda di pinggir danau yang indah.

Turun Melalui Jalur Senaru
Menghabiskan waktu camping selama 2 malam membuat tubuh terasa lebih bugar dan semua berjalan normal tanpa ada kendala apa-apa. Namun menjelang malam terakhir di Danau Segara Anak semua peserta Pelawangan mulai kasak kusuk mengenai ritual wajib semua anggota baru untuk mandi bersama di danau saat jam 03.00 pagi. Dari bisik-bisik tetangga akhirnya dibuat kesepakatan semua peserta akan kompak untuk tidak ikut perintah bila diminta untuk mandi di air danau yang begitu dingin. Kondisi saat itu memang tidak kondusif mengingat perjalanan sebelumnya yang begitu dramatis dan menguras banyak energi dan pikiran. Bahkan dari hasil bisik-bisik sambil menikmati pinggiran danau salah seorang pendaki lokal separuh baya yang menguping bisik-bisik kami menaruh empati dan akan berupaya membantu untuk mencegahnya. Mengingat kondisi cuaca saat itu cukup dingin karena hembusan angin dan kabut selalu menyelimuti dan menutupi seluruh areal danau Segara Anak.

Tapi bak gayung bersambut ternyata para senior membuat sebuah keputusan tidak terduga, ritual mandi di danau ditiadakan karena kondisi peserta yang baru pulih dari kondisi yang tidak pernah di duga sebelumnya. Malam itupun semua peserta seperti mendapaatkan kado terindah dan bisa tersenyum lega sambil menghisap dalam-dalam rokok masing-masing. Hembusan asap dari peserta Pelawangan malam itu seperti mau bersaing dengan kabut malam yang cukup tebal, dalam hati semua kegirangan karena terbebas dari bayangan rasa dingin di tengah malam gelap gulita. Semua bisa tidur dengan tenang dengan mimpi indah masing-masing.

Pagi itu menjelang subuh para senior membangunkan peserta dan meminta satu orang perwakilan dari tiap tim untuk turun mengambil air bersih sebagai persiapan untuk minum dan memasak. Salah seorang senior waktu itu berpesan agar berjalan beriringan dan bila bertemu seseorang diperjalanan yang mengajak berbincang harus diabaikan alias cuek bebek saja. Semua mengangguk tanda mengerti sambil berjalan dengan “day pack” penuh botol kosong dan jerigen masing-masing sambil menenteng senter. Nyaris selama di perjalanan mengambil air ini tidak ada pembicaraan sama sekali. Semua diam dengan pikiran masing-masing atau memang masih mengantuk…??
Tiba di sumber air barulah teman Made Jobless membuka obrolan dengan mengajak membakar rokok, sambil menunggu botol-botol berisi penuh semua becanda ringan sesekali diiringi tawa. Dari arah timur sudah ada tanda merah di langit yang menandakan fajar sudah masuk yang berarti sebentar lagi akan diiringi oleh pergantian hari.

Tepat pukul 08.00 pagi semua peserta sudah dikumpulkan untuk berdo’a sebelum berangkat turun melalui jalur senaru. Lambat namun pasti langkah demi langkahpun mengantarkan kami sampai di pos 3 Senaru diiringi gerimis hujan yang terasa seperti menusuk diantara baju-baju penuh keringat. Napas sedikit lega karena di tempat ini kita dikasih kesempatan untuk beristirahat lebih lama sambil menikmati bekal diiringi obrolan dan canda lepas tanpa perlu takut-takut lagi.

Selepas pos 3 di tengah guyuran hujan yang merembes dari sela-sela daun pohon lebat saya sedikit mengalami musibah. Terasa ada yang basah dan mengalir di area betis bagia belakang, setelah diraba dan dilihat ternyata itu adalah darah segar. Aliran darah tersebut berasal dari bekas gigitan pacet yang menempel pada bagian belakang betis. Saya tidak tahu sudah berapa banyak darah yang dihisap oleh pacet tersebut sehingga pergi begitu saja dengan sendirinya. Darah saya bersihkan memakai daun-daun basah dan sesekali memakai scraf yang saya bawa. 

Kondisi ini membuat stamina saya menjadi sedikit kendor setelah melewati “Bunut Ngengkang” sempat terpeleset jatuh dan puncaknya menjelang pintu hutan. Saat itu saya sampai meminta abang Daeng sebagai sweeper untuk jalan duluan. Ternyata si abang tetap menunggu saya yang istirahat sejenak sambil menurunkan carrier berisi tenda dan peralatan tim yang terasa makin berat karena basah air hujan. Sampai pintu hutan para senior dan peserta yang lain sudah duduk menunggu karena mereka sudah duluan tiba di tempat itu.  Sambil becanda beberapa teman mengolok saya yang menjadi peserta juru kunci..Hehehe

Beruntung sekali punya senior yang baik hati seperti abang Okem, yang di pintu hutan memberikan saya minum ½ botol minuman energy yang dibawanya. Tubuh terasa segar kembali dan bisa turun ke base camp Galang Ijo milik ortu nya teman Apang sambil berlari-lari kecil. Akhirnya saya bisa juga turun dengan cepat tanpa harus menjadi juru kunci lagi.

Mandi Bersama di Air Terjun Sendang Gila
Semua peserta berfikir saat itu kendaraan sudah siap di Senaru, tapi ternyata tidak ada dan diminta untuk segera mendirikan tenda karena akan bermalam disana. Tanpa diduga para senior memiliki rencana menjalankan ritual “berendam” bersama di lokasi air terjun Sindang Gila. Tepat jam 03.00 pagi semua peserta dibangunkan dan diminta menyiapkan senter, sambil terkantuk-kantuk semua berjalan keluar tenda dengan bawaan masing-masing. Sebelum menuju lokasi air terjun semua berdo’a bersama sambil masing-masing dibagikan ‘bekal” kayu bakar untuk api unggun.

Tiba di lokasi air terjun satu persatu peserta diminta untuk turun ke dalam air yang dingin, gigi langsung bergemelatuk ketika tubuh terendam air. Airnya betul-betul dingin dan peserta diminta untuk merem sambil para senior berkeliling menyiramkan “shampoo racikan” yang mengeluarkan bau menyengat. Beberapa teman sempat terdengar mual ketika rambutnya mulai disirami shampoo khas tersebut. Entah berapa lama kita direndam dan dikeramas memakai shampoo ala senior, cuma rasa dingin yang terasa saat diminta naik mendekat ke api unggun. Api unggun yang sudah menyala ternyata tidak cukup untuk menghangatkan telapak tangan yang sudah mulai mengkerut karena kedinginan. Suara gemelatuk gigi yang bersahutan seakan membuat irama vocal group yang unik. Pagi itu apacara pengukuhan anggota dilakukan di tengah cuaca yang membeku yang dipimpin oleh Ketua Mapala FE Mas Dedy Blankon. Entah apa yang disampaikan saat pemberian doktrin karena semua khusuk menahan dingin yang menusuk sampai tulang.  

Spesial buat teman-teman hebat peserta Plawangan 2000 dan para senior yang gagah-gagah dan cantik-cantik…

Tulisan ini untuk mengenang 7 orang mahasiswa Institut Agama Islam Hamzanwadi Anjani Lombok Timur yang meninggal dunia pada pendakian bulan Maret 2007…Semoga diberikan tempat terbaik di sisiNYA…Amin

Alam bisa kita lintasi tapi sesungguhnya kita tidak akan pernah bisa menaklukkan alam…