Membelah Bukit Kerandangan Menuju Hutan Pusuk
(Sebuah catatan perjalanan)
Bagi para pecinta alam atau penggiat alam bebas pengetahuan mengenai navigasi adalah sebuah keniscayaan agar tidak mudah tersesat di tengah alam yang begitu luas. Bahkan dalam setiap pendidikan kelompok pecinta alam materi navigasi diberikan porsi yang lebih mengingat begitu pentingnya pengetahuan navigasi. Ilmu navigasi dapat membantu menentukan posisi di permukaan bumi, sehingga bisa dipakai untuk mencari jalan ataupun membuka jalan baru di tengah hutan belantara sekalipun.
Saya akan sedikit mengupas perjalanan navigasi ketika melakukan survey medan untuk materi navigasi buat anggota baru Mapala_FE Unram angkatan tahun 2000. Angkatan tahun 2000 ini tergolong istimewa karena hanya di angkatan inilah ada beberapa calon anggota yang mengundurkan diri saat menerima materi pajat tebing di Gunung Pengsong. Bukan hanya itu saja angkatan 2000 ini juga adalah angkatan pertama yang bakalan melakukan navigasi darat di medan baru, sangat berbeda dengan angkatan sebelumnya atau setelahnya. Medan kali ini terbilang cukup panjang karena harus membelah 3 bukit yang terbentang dari dekat pantai Kerandangan Senggigi sampai bukit hutan Pusuk Gunung Sari.
Demi kelancaran pelaksanaan navigasi darat bagi anggota baru beberapa anggota akan dikirim ke Kerandangan untuk melakukan survey awal dan menentukan sudut "tembak kompas" menuju hutan Pusuk. Saat itu diputuskan 5 orang yang akan melakukan survey medan termasuk saya, Adi Gagap, Adi Kompor, Made Jobless dan Gede Simba. Rencana dan persiapanpun dilakukan H-1 sebelum tim survey berangkat termasuk peralatan navigasi, logistik dan sebagainya.
Keesokan paginya sekitar pukul 08.00 pagi kita sudah bersiap di Sekret Mapala_FE Unram dengan daypack dan peralatan masing-masing. Sesuai rencana pagi itu tim survey akan diantar ke kaki bukit Kerandangan memakai mobil Kijang milik kawan Oka (Terima kasih tumpangannya). Semua peralatan dan logistik dimasukkan dan dibagi ke masing-masing orang agar tidak berat di perjalanan.
Tepat pukul 09.30 kita sampai di kaki bukit Kerandangan dan diturunkan di halaman parkir depan sebuah bungallows yang kelihatan begitu sejuk. Tanpa banyak becanda lagi semua langsung menuju jalan setapak melewati kebun singkong milik warga untuk menentukan titik koordinat lokasi yang akan kita tuju. Kebetulan saya kebagian tugas untuk menghitung azimuth titik koordinat (sayangnya saya tidak menyimpan hasil perhitungan azimuthnya berapa). Sambil menghabiskan satu batang rokok kita semua becanda ringan sambil mengeluarkan golok masing-masing untuk menebas semak-semak yang mungkin akan menghalangi jalan.
Setelah penentuan azimuth titik koordinat ketemu kita mulai melakukan tembakan pertama sesuai azimuth yang sudah kita hitung, dan disepakati saat itu yang menjadi "juru keker" atau Navigator adalah rekan kita Adi Hendra alias Adi Gagap. Saat tembakan pertama kita sepakati memakai tanda alam di puncak bukit berupa kayu besar yang tinggi menjulang sehingga memudahkan dalam perjalanan. Memakai penanda alam di lokasi yang agak jauh merupakan tehnik navigasi agar perjalanan lancar dan tidak mengecek sudut lagi setiap akan melangkah.
Tiba di pertengahan bukit barulah kelihatan "jeroan" bukit Kerandangan yang sebenarnya, selain agak kering bukit ini juga banyak ditumbuhi oleh berbagai jenis semak berduri sehingga agak menghambat pergerakan kami menuju pohon besar di atas puncak bukit. Disamping banyak semak berduri sepanjang jalan juga banyak kita jumpai sisa-sisa kulit ular yang sudah berganti kulit. Perjalanan harus cepat tapi tetap hati-hati menjaga langkah agar tidak menginjak duri ataupun binatang buas melata penghuni bukit. Salut dengan navigator kita karena saat pohon besar yang kita tuju sudah tidak terlihat karena tertutup semak yang mulai meninggi, dia keluarkan ilmu memanjatnya untuk manaiki pohon kecil untuk memastikan lokasi pohonnya.
Ternyata jalur kita masih benar tapi harus menebas "hutan duri" yang ada di depan. Dengan sabetan seribu bayangan semua mulai membersihkan semak-semak berduri tajam agar bisa melangkah dengan aman. Sepertinya usaha kali ini gagal karena semaknya terlalu lebat dan luas, dan akhirnya disepakati membersihkan bagian bawahnya saja agar bisa melewatinya dengan cara merangkak alias tiarap atau "memperkosa bumi" dalam istilah Upin Ipin. Setelah bersusah payah akhirnya hadangan semak berduri terlewati juga, tapi ternyata....setelah sampai di ujung baru kelihatan jika ada jalan lain yang lebih aman dengan memutari "hutan duri" tadi. Semua tertawa menghibur diri sambil membuka baju yang sudah mulai basah keringat, tapi setidaknya semua sudah merasakan bagaimana "memperkosa bumi"...Hehehe
Tepat saat tengah hari (sekitar jam 13.00 siang) akhirnya kita sudah sampai di pohon besar puncak bukit Kerandangan. Karena sudah haus dan kalori mulai terkuras akhirnya di putuskan untuk santai sejenak sambil menikmati nasi bungkus yang menjadi bekal kami. Tidak lupa semua becanda lepas sambil menghembuskan asap rokok masing-masing. Meski cuma berlima suasana cukup seru terutama saat giliran minum air mineral dari botol besar yang saya bawa. Saat giliran Gede Simba ternyata air dalam botol hampir habis "disedot" sendiri. Melihat kondisi seperti itu teman Made Jobles menyelutuk "sekarang Gede kita panggil saja paralon, karena dia sendirian minumnya paling banyak". Memang teman yang satu ini dari dulu terkenal suka habiskan jatah minum anggota tim yang lain. Saat itu sedang terkenal iklan pipa paralon "dimana air mengalir sampai jauh" tapi kalau yang ini "dimana air mengalir sampai perut". Nama paralon perlahan diganti menjadi singa dan menjelma menjadi Simba saat ada iklan tape recorder yang dibintangi group band Gigi. Disela-sela persiapan TR 4 di arena Budaya (kampus lama) akhirnya nama Simba resmi disandang di belakang nama teman Gede Sulyanala (Sorry Suryanala maksudnya). Hehehe PISS om Simba
Lanjutkan perjalanan kembali, target berikutnyanya adalah menuju puncak bukit kedua yang lokasinya lebih rendah dari puncak bukit yang sudah kita lewati. Disepanjang jalan kita ramai becanda dengan julukan baru teman Gede agar selalu menghemat air minum selama perjalanan. Perjalanan terasa lebih ringan karena bekal dan persediaan air sudah hampir habis dan medan yang sudah agak menurun dan trek yang tidak terlalu menguras tenaga. Namun karena persediaan air yang sudah menipis membuat kita harus siap-siap ilmu survival agar bisa bertahan sampai menemukan sumber air.
Sampai di lembah setelah melewati bukit kedua akhirnya kita menemukan "kolam" kecil yang berisi genangan air yang lumayan jernih untuk ukuran sebuah genangan di tempat yang tidak bertuan. Tanpa banyak komentar lagi semua turun ke genangan air sambil memasuh muka yang sudah "hancur" kena debu dan terik sinar matahari. Plan kita akan ngopi di lokasi itu, dan seperti biasa teman Adi Kompor sudah siap dengan kompor gas andalannya beserta nesting untuk memasak air. Sambil menikmati snack terakhir dan merokok sepuasnya komporpun dinyalakan. Tapi hal buruk terjadi saat kompor sudah menyala dan air dalam nesting sudah dinaikkan. Sepertinya kompornya bocor sehingga menimbulkan nyala api besar yang tidak biasa, yang secara refleks membuat teman Adi Kompor langsung menyambar kompor tersebut dan membuangnya ke arah genangan air. Huuuuuuuuffff semua menahan nafas entah karena lega apinya sudah mati di dasar genangan atau merasa lacur karena gagal ngopi. Yang pasti secara spontan semua mata saat itu tertuju ke arah genangan sambil memperhatikan Adi Kompor yang dengan sigap mencabut tabung gas yang masih tertancap. Gagal sudah acara ngopi hari itu namun semua tertawa untuk menghibur diri, karena dirasa perjalanan juga sudah dekat dengan titik penjemputan.
Untuk mengganti acara ngopi yang gagal Adi Kompor membuka scraf merah maroon kebanggaannya untuk menyaring air yang ternyata agak keruh oleh sisa-sisa daun kering untuk dimasukkan ke dalam botol bawaan masing-masing. Saat airnya diminum ternyata rasanya lumayan enak "seperti ada manis-manisnya" plus sedikit asin dari sisa keringat om Adi Kompor (kurang rasa asam biar saingan sama permen nano-nano). Bagaimanapun juga semua tim survey saat itu pernah mencicipi sisa-sisa keringatnya Adi Kompor. Setelah botol-botol diisi penuh kita sisakan 1 botol besar untuk diisi dengan Nutrijoss alias Nutrisari + Extra Joss. Untuk saat itu Gede Paralon bisa minum dengan sepuasnya tanpa ada yang menghalangi lagi (bila perlu habisin air genangannya om..Hehe).
Hari hampir sore ketika kita melanjutkan perjalanan melintasi bukit terakhir yang terlihat rimbun tertutupi pohon-pohon besar. Perjalanan di bukit terakhir terasa ringan karena rindang dan tidak terpapar matahari langsung serta efek Nutrijoss + asap rokok. Tepat sebelum jam 5 sore kita sudah tiba di rumah makan bukit Pusuk dan langsung mencuci muka sambil menikmati sejuknya air pegunungan. Sekitar 3 batang rokok menunggu tim penjemput akhirnya tiba. Kalau tidak salah yang menjemput saat itu adalah Oka dan Febri, sambil tidak lupa membawakan sedikit snack untuk mengganjal perut.
Karena dirasa medan terlalu panjang dan berat jalur ini tidak pernah dipakai kembali sebagai medan navigasi dan kembali ke medan awal di Karang Bayan menuju Sesaot.
Tepat pukul 09.30 kita sampai di kaki bukit Kerandangan dan diturunkan di halaman parkir depan sebuah bungallows yang kelihatan begitu sejuk. Tanpa banyak becanda lagi semua langsung menuju jalan setapak melewati kebun singkong milik warga untuk menentukan titik koordinat lokasi yang akan kita tuju. Kebetulan saya kebagian tugas untuk menghitung azimuth titik koordinat (sayangnya saya tidak menyimpan hasil perhitungan azimuthnya berapa). Sambil menghabiskan satu batang rokok kita semua becanda ringan sambil mengeluarkan golok masing-masing untuk menebas semak-semak yang mungkin akan menghalangi jalan.
Setelah penentuan azimuth titik koordinat ketemu kita mulai melakukan tembakan pertama sesuai azimuth yang sudah kita hitung, dan disepakati saat itu yang menjadi "juru keker" atau Navigator adalah rekan kita Adi Hendra alias Adi Gagap. Saat tembakan pertama kita sepakati memakai tanda alam di puncak bukit berupa kayu besar yang tinggi menjulang sehingga memudahkan dalam perjalanan. Memakai penanda alam di lokasi yang agak jauh merupakan tehnik navigasi agar perjalanan lancar dan tidak mengecek sudut lagi setiap akan melangkah.
Tiba di pertengahan bukit barulah kelihatan "jeroan" bukit Kerandangan yang sebenarnya, selain agak kering bukit ini juga banyak ditumbuhi oleh berbagai jenis semak berduri sehingga agak menghambat pergerakan kami menuju pohon besar di atas puncak bukit. Disamping banyak semak berduri sepanjang jalan juga banyak kita jumpai sisa-sisa kulit ular yang sudah berganti kulit. Perjalanan harus cepat tapi tetap hati-hati menjaga langkah agar tidak menginjak duri ataupun binatang buas melata penghuni bukit. Salut dengan navigator kita karena saat pohon besar yang kita tuju sudah tidak terlihat karena tertutup semak yang mulai meninggi, dia keluarkan ilmu memanjatnya untuk manaiki pohon kecil untuk memastikan lokasi pohonnya.
Ternyata jalur kita masih benar tapi harus menebas "hutan duri" yang ada di depan. Dengan sabetan seribu bayangan semua mulai membersihkan semak-semak berduri tajam agar bisa melangkah dengan aman. Sepertinya usaha kali ini gagal karena semaknya terlalu lebat dan luas, dan akhirnya disepakati membersihkan bagian bawahnya saja agar bisa melewatinya dengan cara merangkak alias tiarap atau "memperkosa bumi" dalam istilah Upin Ipin. Setelah bersusah payah akhirnya hadangan semak berduri terlewati juga, tapi ternyata....setelah sampai di ujung baru kelihatan jika ada jalan lain yang lebih aman dengan memutari "hutan duri" tadi. Semua tertawa menghibur diri sambil membuka baju yang sudah mulai basah keringat, tapi setidaknya semua sudah merasakan bagaimana "memperkosa bumi"...Hehehe
Tepat saat tengah hari (sekitar jam 13.00 siang) akhirnya kita sudah sampai di pohon besar puncak bukit Kerandangan. Karena sudah haus dan kalori mulai terkuras akhirnya di putuskan untuk santai sejenak sambil menikmati nasi bungkus yang menjadi bekal kami. Tidak lupa semua becanda lepas sambil menghembuskan asap rokok masing-masing. Meski cuma berlima suasana cukup seru terutama saat giliran minum air mineral dari botol besar yang saya bawa. Saat giliran Gede Simba ternyata air dalam botol hampir habis "disedot" sendiri. Melihat kondisi seperti itu teman Made Jobles menyelutuk "sekarang Gede kita panggil saja paralon, karena dia sendirian minumnya paling banyak". Memang teman yang satu ini dari dulu terkenal suka habiskan jatah minum anggota tim yang lain. Saat itu sedang terkenal iklan pipa paralon "dimana air mengalir sampai jauh" tapi kalau yang ini "dimana air mengalir sampai perut". Nama paralon perlahan diganti menjadi singa dan menjelma menjadi Simba saat ada iklan tape recorder yang dibintangi group band Gigi. Disela-sela persiapan TR 4 di arena Budaya (kampus lama) akhirnya nama Simba resmi disandang di belakang nama teman Gede Sulyanala (Sorry Suryanala maksudnya). Hehehe PISS om Simba
Lanjutkan perjalanan kembali, target berikutnyanya adalah menuju puncak bukit kedua yang lokasinya lebih rendah dari puncak bukit yang sudah kita lewati. Disepanjang jalan kita ramai becanda dengan julukan baru teman Gede agar selalu menghemat air minum selama perjalanan. Perjalanan terasa lebih ringan karena bekal dan persediaan air sudah hampir habis dan medan yang sudah agak menurun dan trek yang tidak terlalu menguras tenaga. Namun karena persediaan air yang sudah menipis membuat kita harus siap-siap ilmu survival agar bisa bertahan sampai menemukan sumber air.
Sampai di lembah setelah melewati bukit kedua akhirnya kita menemukan "kolam" kecil yang berisi genangan air yang lumayan jernih untuk ukuran sebuah genangan di tempat yang tidak bertuan. Tanpa banyak komentar lagi semua turun ke genangan air sambil memasuh muka yang sudah "hancur" kena debu dan terik sinar matahari. Plan kita akan ngopi di lokasi itu, dan seperti biasa teman Adi Kompor sudah siap dengan kompor gas andalannya beserta nesting untuk memasak air. Sambil menikmati snack terakhir dan merokok sepuasnya komporpun dinyalakan. Tapi hal buruk terjadi saat kompor sudah menyala dan air dalam nesting sudah dinaikkan. Sepertinya kompornya bocor sehingga menimbulkan nyala api besar yang tidak biasa, yang secara refleks membuat teman Adi Kompor langsung menyambar kompor tersebut dan membuangnya ke arah genangan air. Huuuuuuuuffff semua menahan nafas entah karena lega apinya sudah mati di dasar genangan atau merasa lacur karena gagal ngopi. Yang pasti secara spontan semua mata saat itu tertuju ke arah genangan sambil memperhatikan Adi Kompor yang dengan sigap mencabut tabung gas yang masih tertancap. Gagal sudah acara ngopi hari itu namun semua tertawa untuk menghibur diri, karena dirasa perjalanan juga sudah dekat dengan titik penjemputan.
Untuk mengganti acara ngopi yang gagal Adi Kompor membuka scraf merah maroon kebanggaannya untuk menyaring air yang ternyata agak keruh oleh sisa-sisa daun kering untuk dimasukkan ke dalam botol bawaan masing-masing. Saat airnya diminum ternyata rasanya lumayan enak "seperti ada manis-manisnya" plus sedikit asin dari sisa keringat om Adi Kompor (kurang rasa asam biar saingan sama permen nano-nano). Bagaimanapun juga semua tim survey saat itu pernah mencicipi sisa-sisa keringatnya Adi Kompor. Setelah botol-botol diisi penuh kita sisakan 1 botol besar untuk diisi dengan Nutrijoss alias Nutrisari + Extra Joss. Untuk saat itu Gede Paralon bisa minum dengan sepuasnya tanpa ada yang menghalangi lagi (bila perlu habisin air genangannya om..Hehe).
Hari hampir sore ketika kita melanjutkan perjalanan melintasi bukit terakhir yang terlihat rimbun tertutupi pohon-pohon besar. Perjalanan di bukit terakhir terasa ringan karena rindang dan tidak terpapar matahari langsung serta efek Nutrijoss + asap rokok. Tepat sebelum jam 5 sore kita sudah tiba di rumah makan bukit Pusuk dan langsung mencuci muka sambil menikmati sejuknya air pegunungan. Sekitar 3 batang rokok menunggu tim penjemput akhirnya tiba. Kalau tidak salah yang menjemput saat itu adalah Oka dan Febri, sambil tidak lupa membawakan sedikit snack untuk mengganjal perut.
Karena dirasa medan terlalu panjang dan berat jalur ini tidak pernah dipakai kembali sebagai medan navigasi dan kembali ke medan awal di Karang Bayan menuju Sesaot.