JANGAN MENDAKI RINJANI DI BULAN JANUARI – MARET
(Catatan
perjalanan pribadi bersama teman – teman hebat)
Sebagai
Gunung yang sering dikunjungi oleh pendaki dari seluruh Indonesia dan dunia,
demi alasan keselamatan pendaki Balai Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR)
melakukan penutupan jalur pendakian pada bulan-bulan tertentu. Penutupan jalur
pendakian untuk umum ini dilakukan biasanya pada rentang bulan Januari sampai
Maret karena pada bulan ini memasuki puncak musim penghujan. Tentu saja bagi
para pendaki penutupan ini mengganggu jadwal pendakian yang mungkin sudah
direncanakan sebelumnya.
Berkaca
pada langkah penutupan jalur pendakian oleh Balai TNGR tersebut, saya dan
beberapa teman anggota baru Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Ekonomi Universitas
Mataram (MAPALA_FE UNRAM) pernah melewati masa-masa sulit saat pendakian di
bulan Maret. Sebagai anggota baru yang masih berstatus calon anggota tetap
harus mengikuti kegiatan Pelestarian Kawasan Gunung Rinajani atau bisanya
disebut PELAWANGAN MAPALA_FE UNRAM agar dapat scraf biru muda kebanggaan dan
menyandang nomor anggota. Sebagai anggota muda kami tidak tahu siapa yang
memiliki ide untuk melakukan PELAWANGAN di bulan Maret, kami hanya mengikuti
aturan dari para senior saat itu.
Sangat
kebetulan sekali PELAWANGAN kali ini dilakukan di sela liburan Idul Adha, dimana
Idul Adha waktu itu jatuh pada hari Kamis, 16 Maret 2000 (saat itu kuliah masih
duduk di semester 4). Kami dibagi dalam beberapa tim dimana setiap tim terdiri
dari 4 orang dan harus mempersiapkan sendiri segala kebutuhan pendakian, baik
kebutuhan pribadi maupun kebutuhan tim.
Keberangkatan dari
Kampus Biru
Hari
sabtu tanggal 18 Maret 2000 semua anggota tim PELAWANGAN berkumpul di
sekretariat kebanggaan Mapala_FE di belakang bangunan kampus “biru” Fakultas
Ekonomi Universitas Mataram. Sambil menunggu truck yang akan dipakai untuk
mengangkut kami ke Sembalun, seluruh peserta diminta para senior untuk
memeriksa peralatan maupun perbekalan masing-masing.
Foto bersama sebelum keberangkatan
Foto bersama sebelum keberangkatan
Pukul
10.00 pagi semua peserta diminta untuk naik kendaraan dengan terlebih dahulu
manaikkan tas “carrier” masing-masing yang sudah ditentukan ukurannya, untuk
peserta cewek tas ukuran 65 liter dan untuk cowok minimal 90 liter. Dengan gaya
masing-masing semua peserta naik kendaraan sambil saling menukar gelang
warna-warni dari tali prusik yang saat itu begitu tren dikalangan anak-anak pecinta
alam. (Hehehe...gaya lama)
Perjalanan ke
Sembalun
Setelah
melewati daerah Aikmel turun hujan yang cukup lebat, dan memaksa kami untuk
berbenah dengan menutup bagian atas truck memakai terpal yang hanya bisa
menutup setengan bagian saja. Peseta laki-laki termasuk saya tidak peduli hujan
dan memilih mandi hujan di atas mobil truck. Adrenalin lumayan terpompa saat
melewati jalan menanjak di kawasan hutan pusuk, bahkan 2 kali melewati daerah
longsoran yang menutupi badan jalan. Dalam hati berdo’a semoga diberikan
keselamatan dengan kondisi medan seperti ini.
Tiba
di pos jaga TNGR Sembalun hujan semakin deras dan tidak ada tanda-tanda untuk
berhenti. Sambil menunggu proses registrasi di Balai TNGR kami beristirahat
sejenak sambil menikmati nasi bungkus yang dibeli di pasar Aikmel. Proses
registrasi lumayan agak lama kamungkinan karena faktor cuaca, yang tahu saat
itu hanya para senior saja (angkat topi buat para senior).
Perjalanan ke Pos 2
Tengengean
Selesai
proses registrasi di Balai TNGR semua peserta dikumpulkan untuk pemberangkatan
dan do’a bersama, dan saat itu salah seorang anggota Polisi Hutan Tanaman
Nasional Gunung Rinjani nyeletuk hampir berbisik bertanya “apakah pendakian ini
ada asuransinya ?”. Sebuah pertanyaan yang saya kira cukup aneh, dan dengan spontan
menjawab “mana ada anak Mapala punya asuransi”. Sebuah jawaban yang membuat
polhut tersebut nyengir dan geleng-geleng kepala.
Ditengah
guyuran hujan yang semakin deras satu persatu tim dilepas oleh para senior
dengan pendamping masing-masing tim 1 orang senior. Jarak pandang saat itu
sangat terbatas hanya bisa melihat sekitar 2 meter saja ke depan sehingga
membuat beberapa teman termasuk saya menubruk teman sendiri yang sedang
berhenti untuk sekedar menarik nafas.
Perjalanan
yang betul-betul mencekam karena udara juga semakin dingin, suara canda yang
sebelumnya ramai dan bersahutan kini sudah hilang. Yang ada hanya suara nafas
dan gemelatuk gigi yang kadang terdengar keras karena berusaha melawan dingin. Tiba
di shelter Pos 1 hujan sudah agak reda dan
beristirahat sejenak sambil makan snack yang dibawa, semua peserta basah
kuyup karena ponco yang dipakai terbagi untuk menutupi tas carrier agar tidak
basah dan makin berat. Di tempat ini suasana sudah mulai agak gaduh karena
canda dan saling olok-olokan antar peserta, ada yang bilang “muka ber*k” dll
melihat kondisi teman masing-masing.
Melanjutkan
perjalanan dari pos 1 ke pos 2 Tengengean dari kejauhan sudah tampak
samar-samar matahari sore tersenyum malu-malu dari balik awan. Kondisi yang
cukup kita syukuri saat itu untuk sedikit menghangatkan badan yang sudah basah
kedinginan. Teman-teman sudah ada yang kelihatan membakar rokok sambil sesekali
becanda menghibur diri dan tim.
Tiba
di pos 2 Tengengean cuaca sudah betul-betul terang dan warna jingga sunset
terlihat di ujung langit sebelah barat. Kami tiba dengan riang langsung mendirikan
tenda dan mengambil air untuk membuat kopi dan persiapan makan malam. Saat itu
peserta tidak ada yang fotoan karena sefie apalagi tongsis belum tren seperti
saat ini. Semua larut bekerja dengan tugas masing-masing untuk memenuhi
kebutuhan semua anggota tim.
Bermalam di
Tengengean
Selepas
magrib dan makan malam rata-rata anggota tim mengurung diri dalam tenda untuk
sedikit menghangatkan badan, hanya terdengar suara para senior yang bercanda
sambil sesekali tertawa lepas. Ketika sedang enak-enak mengobrol dengan
teman-teman 1 tim, tiba-tiba dikejutkan oleh suara seperti memukul pintu tenda
dari luar. Saat pintu tenda dibuka ternyata itu adalah teman Salim Pujiadi yang
mengajak nikmati malam sambil ngopi bareng dan segera bergegas mengambil kompor
gas miliknya. Cuma dia yang memiliki kompor gas bagus karena dia bawa dari
Jakarta, tidak seperti kita kebanyakan yang masih memakai kompor paraffin dan
kompor spritus hand made dari kaleng
bekas minuman bersoda (ente memang “lites” saat itu heb). Malampun berlalu
dengan mimpi indah masing-masing dan sesekali terdengar suara batuk dari tenda
sebelah.
Menuju Pelawangan
Sembalun
Malam
berganti pagi dengan semburat merah di ufuk timur yang tampak malu-malu dibalik
awan hitam, semua tim memulai aktifitas dengan mengambil air untuk keperluan
persiapan sarapan. Tidak lupa juga dikasih sarapan push up dari beberapa senior
untuk menjaga kebugaran agar tetap kuat memikul tas masing-masing. Matahari
terbit memberi seberkas kehangatan yang walaupun tidak maksimal karena
terhalang awan, tapi tetap saja membuat pagi itu terasa indah dan hangat.
Tepat
pukul 08.00 pagi rombongan berangkat dengan tim masing-masing menuju Pelawangan,
langit sudah mulai tertutup awan membuat perjalanan terasa lebih “cool” karena
tidak terpapar sinar matahari yang menyengat. Jalur yang dipakai adalah classic road “Bukit Penyesalan” yang
sangat legendaris. Turun ke kali mati ternyata sudah menunggu beberapa orang
senior yang menjadi tim leader mengajak kita semua beristirahat sambil membuka
bekal snack dan meneguk air minum sekedar untuk membasahi tenggorokan yang sudah
mulai kering. Karena musim penghujan kali mati dialiri air walaupun dengan
volume sangat kecil yang tidak sebanding dengan lebarnya.
Jalur
bukit penyesalaan adalah jalur lama yang jika dilihat dari jalur “Bukit Penyiksaan”
atau pada balong adalah jalur yang bukitnya seperti huruf “Z” karena kondisinya
yang zigzag. Jalur ini sudah sangat jarang dilalui oleh para pendaki karena
menganggapnya lebih panjang.
Merasa
nafas sudah lebih ringan perjalananpun dilanjutkan kembali dengan target harus
mencapai Pelawangan sebelum sore hari. Namun kondisi alam tidak mendukung untuk
berjalan cepat, sehabis jalur “Z” tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat
disertai kabut. Semua tim berhenti untuk mengeluarkan ponco untuk sekedar
menutup carrier masing-masing agar tidak basah dan menjadi lebih berat karena
air hujan. Hawa dingin dan kabut membuat jarang pandang semakin pendek menambah
mencekam suasana. Dengan nafas yang sudah mulai berat dan udara yang semakin
dingin, senior akhirnya mengajak untuk istirahat sejenak di “cemara tumbang”.
Di tengah guyuran hujan dan cuaca dingin terbayang kopi dan beberapa batang
rokok yang tentu saja tidak bisa kita nikmati saat itu. Lengkap sudah
penderitaan kita di hari itu…..
Memasuki
bukit terakhir “the real bukit
penyesalan” hujan sudah agak reda, dan gundukan tanah menjulang tinggi dan
tandus terlihat dengan jelas di depan mata. Rombongan berhenti sejenak untuk
mengatur nafas dan beberapa peserta sudah ada yang mulai terlihat pucat menahan
dingin, peserta laki-laki tidak membuang kesempatan. Tanpa komando semua
mengeluarkan rokok dan pematik api masing-masing, akhirnya saat yang
ditunggupun tiba bisa menikmati kepulan asap rokok. Walaupun secara teori akan
mebuat nafas semakin berat tapi tidak ada yang mengalahkan nikmatnya merokok
saat itu. Hembusan asap rokokpun bercampur dengan hembusan uap dari nafas
masing-masing karena hawa dingin.
Beberapa
peserta yang memperlihatkan gejala akan “tumbang” segera di dampingi oleh
senior-senior yang perkasa (hidup senior…hehe). Kondisi saat itu sudah sangat
berat tapi perjalanan harus dilanjutkan ke base camp Pelawangan, setapak demi
setapak akhirnya kaki dilangkahkan juga. Tidak jarang terdengar teriakan “rock” dari peserta di atas untuk
mengingatkan teman yang berada di bawah jika ada batu yang jatuh dari bekas
pijakan kaki peserta lain. Kondisi bukit penyesalan memang tandus terbentuk
dari tanah dan batu-batuan yang sedikit labil sehingga rawan timbul runtuhan
batu-batu sebesar kepalan tangan. Hampir mencapai puncak bukit penyesalan hujan
dan kabutpun mengguyur dengan sangat deras membuat langkah kaki dan nafas
semakin berat. Ditengah kabut akhirnya terlihat juga tim leader yang sudah
menunggu di bawah pohon cemara bukit penyesalan.
Kengerian
sesungguhnya terjadi saat tiba di hutan cemara yang disana ada kuburan pendaki
yang meninggal dunia, karena kondisi hujan sangat lebat dan kabut dingin yang
semakin menyengat beberapa peserta sudah mulai terlihat sempoyongan. Korban
pertama pun jatuh, teman anggota baru yang bernama Maya saat itu jatuh dan
tidak bisa melanjutkan perjalanan. Beberapa senior kemudian mendampingi Maya
dan sebagian lagi tetap mengawal peserta lain menuju Plawangan. Saya pribadi
saat itu sudah hampir tumbang juga karena telapak kaki sampai pergelangan mata
kaki sudah kaku dan mati rasa. Terbayang saat itu cerita mengenai
pendaki-pendaki yang harus memotong organ tubuhnya agar dingin tidak menjalar
ke bagian tubuh yang lain.
Dengan
sisa tenaga saya berusaha bergegas secepatnya agar bisa mencapai Pelawangan dan
mendirikan tenda, ditengah guyuran hujan dan deru nafas yang semakin berat. Memasuki
Pelawangan hujan sudah reda dan akhirnya tenda yang saya bawa dikeluarkan untuk
didirikan bersama tim yang lain. Kondisi kaki yang dingin dan mati rasa membuat
saya cepat-cepat masuk tenda dan saat itu disamping saya sudah ada sepatu kets
warna putih campur biru yang entah punya siapa. Tanpa basa-basi kaki saya
masukkan di kets tersebut agar lebih hangat sambil duduk memejamkan mata
bersandar di sisi carrier. Tanpa terasa saya tertidur dan baru terbangun
setelah ada cahaya mentari sore yang masuk di celah pintu tenda yang memberikan
sedikit kehangatan. Keluar tenda suasana sepi tidak ada canda lagi semua larut
menikmati pemandangan alam di depan mata sambil menghembuskan kepulan asap
rokok. Entah semua masih terbayang dingin air hujan diperjalanan tadi atau
sudah tidak ada tenaga sehingga selera humor masing-masing seakan sirna.
Sorepun
kita lalui dengan membereskan barang masing-masing sambil memasak air untuk
sekedar membuat minuman hangat. Beberapa peserta termasuk saya turun mengambil air
untuk keperluan memasak tim. Beberapa senior mendirikan tenda terpisah untuk
mengamankan Maya yang saat itu sudah “on” karena kesurupan dan dikhawatirkan
menular ke peserta lain.
Malam
Mencekam di Pelawangan Sembalun
Karena
kondisi Maya sudah kesurupan para senior memberikan arahan untuk segera
melakukan sholat magrib bagi yang muslim dan berdo’a menurut keyakinan
masing-masing bagi yang non muslim. Sehabis menyiapkan makan malam sekitar
pukul 19.00 malam suasana betul-betul semakin mencekam karena dari kejauhan terdengar
suara angin kencang yang meniup daun-daun cemara seperti suara siulan yang
bersahut-sahutan. Tenda sesekali bergetar karena tertiup hembusan angin malam
yang begitu kencang, dan ditengah suasana seperti itu muncul teman mengajak untuk
ngopi bareng. Biasa teman itu adalah Salim Pujiadi dengan kompor gasnya, saat
itu saya dan teman satu tim Opik Padang candain “ajak ngopi tapi kok tidak bawa
kopi” yang spontan disambut dengan gelak tawa teman-teman yang lain. Dengan
enteng teman Salim Pujiadi menjawab “yang penting kan saya sediakan kompor”, tiba-tiba
ada suara celetukan “bener-bener dah ini hanya modal kompor doang”. Entah siapa
yang memulai akhirnya sejak candaan itu Salim Pujiadi memiliki panggilan baru
“Adi Kompor” karena selalu membawa kompor gasnya setiap ada acara ngopi bareng
(PISS om Salim Pujiadi).
Tiba-tiba
suasana dikejutkan oleh teriakan dari tenda sebelah yang ternyata berasal dari
Mbak Aline Novita (turut berduka cita atas meninggalnya ayahanda Mbak Aline
semoga diberika tempat terbaik di sisiNYA), Aline ternyata sudah dalam kondisi
“on’ juga karena kesurupan. Beberapa peserta muslim mulai membacakan do’a dan ayat
kursi, sebagian lagi manahan kaki dan tangannya yang terus meronta bahkan
memukul rekan lainnya. Beberapa kali Aline berteriak dan meronta-ronta dengan
keras, yang membuat 6 orang yang memegang kaki dan tangannya menjaadi
kewalahan. Entah mendapat kekuatan dari mana Aline betul-betul perkasa malam
itu sampai saya sendiri dapat “bonus” tendangan di bagian dada saat mencoba
menenangkan dengan memegang kakinya.
Setelah
agak tenang Aline bercerita jika dari kejauhan dia melihat ada bangunan gazebo
yang begitu indah di atas gunung baru jari, kebetulan malam itu gunung baru
jari kelihatan sangat indah diterpa cahaya temaram bulan yang hampir purnama. Aline
menceritakan di gazebo tersebut ada 2 orang cowok yang sedang tidur memakai
celana warna cream tapi tidak tahu apakah masih hidup atau sudah mati. Bulu
kuduk saya merinding karena teringat dengan 2 orang pendaki asal Bandung yang
hilang saat mendaki pada tahun 1998 yang sampai saat ini tidak diketahui
keberadaannya. Malam itu kita hanya bisa mendengar cerita-cerita aneh yang
keluar dari Mbak Aline yang sedang “on”.
Mungkin
karena sudah capek akhirnya Aline tertidur dan peserta laki-laki bisa bernafas
lega karena bisa bersantai sejenak sambil merabahkan badan di dalam tenda
masing-masing. Malam itu betul-betul mencekam tidak ada suara canda tawa yang
selalu menemani di saat-saat bersantai di atas gunung. Semua diam dan larut
dengan pikiran masing-masing diiringi suara angin yang menderu.
Memasuki
tengah malam kami dikejutkan oleh suara teman Febriansyah yang saat itu menjadi
senior juga walaupun satu angkatan masuk kuliah tapi duluan masuk MAPALA_FE. Dari
informasi Febri diketahui jika Aline mau “pipis” atau BAK yang tentu saja
sangat berbahaya dalam kondisi saat itu. Akhirnya semua laki-laki diminta buat
formasi melingkar sambil memgang ponco masing-masing agar terlindung dari
penglihatan orang saat BAK. Semua sudah di posisi dengan ponco masing-masing
menghadap ke belakang tiba-tiba Aline yang sudah di posisi tengah-tengah
melompat tinggi menembus lingkaran ponco yang melindunginya. Semua heran dengan
tubuh yang lumayan besar (PISS Mbak Aline) ternyata bisa melompat begitu tinggi.
Jantung seakan berhenti berdetak melihat Aline melompat ke arah bibir jurang,
tapi beruntung saat itu Febri dengan gerakan seperti “Superman” melesat cepat
dan menagkap tubuh Aline hingga terjatuh berguling di tanah. Huuuuuuufffff
semua menghela nafas lega karena melihat Aline bisa dipegang oleh Febri
diiringi gerakan spontan beberapa teman yang berdekatan untuk memegang kaki dan
tangannya agar tidak meronta.
Saat
situasi sudah bisa dikendalikan dan Aline dimasukkan ke dalam tenda dengan
tetap dijaga oleh peserta laki-laki sambil membacakan do’a. Sungguh malam itu
menjadi malam yang sangat religious untuk pendakian anak-anak MAPALA_FE
UNRAM. Agak lama tediam akhirnya Aline
membuka suara jika di bawah sana dia ditunggu oleh 2 orang cowok yang
“dilihatnya’ berada di gazebo gunung baru jari. Katanya kedua cowok itu ganteng
dan berkulit putih (pantesan ingin lompat ternyata
melihat 2 orang cowok ganteng)…Hehehe
Sampai
menjelang subuh semua terdiam sambil tiduran ala kadarnya tidak tahu apakah
semua bisa tertidur atau pura-pura memejamkan mata karena kejadian tadi.
Rencana ke puncak Rinjani akhirnya tidak jadi karena faktor cuaca dan kondisi
beberapa peserta yang tidak memungkinkan untuk dibawa ke puncak. Mungkin selama
PELAWANGAN MAPALA_FE baru tahun 2000 itu saja semua peserta tidak ada yang ke
puncak.
Lambat
namun pasti pagipun datang dengan berkawan mendung, tidak ada sinar mentari
hari itu dan semua keluar tenda dengan lesu karena kurang tidur. Dalam kondisi
apapun hari harus kita lalui dengan mempersiapkan menu sarapan paling enak agar
memiliki cukup tenaga untuk turun ke danau Segara Anak. Namun ketenangan di
pagi itu sirna oleh teriakan rekan Bey yang meronta-ronta di iringi teriakan
dari Aline di tenda sebelah. Bertambah lagi korban kesurupan hari itu yang
membuat semua peserta laki-laki bergegas membagi diri untuk menenangkan Aline
dan Bey. Kali ini suasana sedikit gaduh karena ada 2 korban lagi yang berteriak
dan meronta, suara do’a dan lantunan ayat Al_Qur’an pun berkumandang untuk
membantu menenangkan korban.
Betul-betul
hari yang berat buat semua peserta dan senior karena sebelumnya tidak pernah
menemukan kondisi kacau seperti ini, yang kita tahu hanya materi P3K
Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan bukan Pertolongan Pertama Pada Kesurupan.
Semua dihadapkan pada kondisi diluar ekspektasi dan nalar yang ada, mau tidak
percaya namun hal-hal aneh itu sudah kita hadapi di depan mata. Walluhu A’lam
Bisshawab
Turun ke Danau
Segara Anak
Menjelang
siang sekitar jam 10.00 para senior meminta membereskan lokasi camping dan
prepare menuju ke Segara Anak. Hari itu matahari tidak terlihat karena ada awan
hitam yang menutupi seluruh rongga langit, dengan semangat kita semua
membersekan lokasi. Perserta laki-laki dibagi untuk menjaga korban kesurupan
yang saat itu sudah mulai tenang dan mau melanjutkan perjalanan.
Langkahpun
dimulai dengan semangat agar bisa sampai danau Segara Anak sebelum sore,
setapak demi setapak akhirnya sampai juga di turunan berbatu yang lumayan
terjal. Hujan mulai turun menambah berat perjalanan karena harus ekstra
hati-hati berpijak pada jalan berbatu yang kadang-kadang membuat langkah
terpeleset. Harus tetap menjaga langkah dan keseimbangan agar tidak terjatuh
dan terperosok ke tebing batu yang lumayan curam. Perjalanan terasa sangat lama
karena harus mengawal korban kesurupan agar tidak “on” lagi di tengah
perjalanan. Beberapa teman dan senior mengajak istirahat sejenak sambil
mengambil nafas dan korban kesurupan selalu diajak ngobrol agar fikirannya
tidak kosong dan melayang kemana-mana. Sesuai instruksi korban harus selalu
dijaga agar tetap fokus sehingga tidak ada ruang kosong dalam otak yang bisa dimasuki fikiran lain, entah siapa yang memiliki teori seperti itu tapi memang efektif
bisa membuat korban tidak “on” lagi.
Sehabis
kali mati perjalanan menjadi terasa lebih santai karena hujan sudah reda
meskipun masih ada gerimis tipis yang turun. Para senior mengajak istirahat
sejenak sambil membuka bekal snack masing-masing untuk menambah kalori yang
sudah lumayan banyak terkuras. Di tempat ini baru diketahui ternyata teman kita
Tanzier drop dan sakit, sesekali terdengar candaan dari para senior agar
suasana lebih cair dan rileks. Peserta laki-laki tidak membuang kesempatan
untuk melakukan ritual bakar rokok bersama karena sepanjang perjalanan tidak
bisa menyalakan api akibat guyuran hujan.
Dengan
semangat baru dan medan yang sedikit lebih mudah disbanding medan sebelumnya,
perjalananpun dilanjutkan. Kondisi baju yang basah membuat tubuh terasa dingin
dan irama gemelatuk gigi menahan dinginpun terdengar bersahut-sahutan. Dalam
perjalanan ini kebetulan bertemu rombongan pendaki tradisional dari kampung
setempat, dari hasil obrolan dengan salah seorang senior ternyata orang tersebut
menyarankan agar tidak terlalu lama menginap di danau. Karena berdasarkan
informasi yang didapatkan saat itu semua “penghuni” Rinjani sedang melakukan
upacara, yang tentu saja kita semua tidak tahu upacara apa yang dimaksud. Kita
diminta untuk berhati-hati selama di danau yang menimbulkan berbagai
macam pertanyaan di benak kami. Perjalananpun tetap dilanjutkan dan tepat
sesuai target sebelum sore akhirnya semua sampai danau segara Anak dengan
selamat tanpa kurang suatu apapun juga.
Kondisi
danau sedang sepi pengunjung hanya rombongan kami, rombongan pemancing dari
kampung setempat dan baru esok harinya datang satu rombongan anak SMA dari
Praya yang salah satunya bernama Nanang. Diketahui kemudian hari Nanang ini lebih
dikenal sebagai Nanang Ceper setelah ikut bergabung dengan korps Mapala FE
(PISS pengantin baru). Di danau semua tim menyiapkan menu makan siang andalan
“mie instan” siap santap setiap saat, karena Cuma menu itu yang paling cepat
bisa dinikmati.
Mengisi
waktu sore sebagian besar peserta turun ke arah pemandian air panas “Cikar
Rarat” tapi yang dituju adalah tingkatan terakhir di bawah yang airnya tidak
terlalu panas. Kami merasa tidak sanggup untuk melakukan ritual mandi air panas
di tingkatan pertama saking panasnya. Yang penting tubuh bisa dibersihkan dari
sisa air hujan dan bisa menghangatkan tubuh yang berselimut baju basah
sepanjang perjalanan selama 3 hari. Mandi air hangat alami berjalan dengan seru
sambil mencuci pakaian basah sisa perjalanan sebelumnya. Habis mandi semua
kelihatan lebih rapi dan wangi, tidak seperti hari sebelumnya yang rata-rata
bau apek karena air hujan.
Malam Sunyi di
Danau Segara Anak
Sorepun
beranjak pergi berganti senja dengan sedikit gelap yang mengikutinya, berdasarkan
informasi para senior sedang menunggu senior Ojie (Pak Haji Fauzi) yang naik
bersama rombongan dari Senaru. Saat Magrib terdengar teriakan histeris dari
tenda lain, semua bergegas ke sumber suara ternyata di dapati teman Oppie Dance
(panggilan akrab ibu Saufi Haswinda..PISS) sedang dalam kondisi ‘on” karena
kesurupan. Dari 5 anggota baru yang cewek 4 orang sudah “terkontaminasi”
kesurupan. Senior Ojie yang saat itu baru sampai danau langsung membacakan do’a
karena beliau memang dikenal paling religius diantara semua senior, maklum
seorang “pemanjat”. Dari pemanjat tebing sampai pemanjat do’a kira-kira begitu
candaan senior lain untuk senior yang satu ini. Oppie Dance pun menjadi lebih
tenang setelah dibacakan do’a, tapi oppie yang dalam kondisi kesurupan
mengatakan “penghuni Rinjani minta semua bunga edelweiss yang dipetik
dikembalikan ke tempatnya”. Sepertinya omongannya Oppie membuat beberapa orang teman
yang mengambil bunga edelweiss sepanjang perjalanan turun menuju danau
ketakutan dan diam-diam membuangnya di antara semak-semak. Kalau tidak salah
waktu itu yang langsung membuangnya adalah teman Indro DKI dan Halomoan.
Karena
hari sudah magrib senior Ojie meminta semua peserta muslim untuk mengambil air
wudhu untuk sholat magrib dan peserta agama lain berdo’a sesuai kepercayaan
masing-masing. Saya kebagian tugas untuk mengumandangkan azan sholat, sesuatu
yang belum pernah saya lakukan sebelumnya (agak grogi juga karena suara merdu
saya di dengar semua orang…Hehe). Sholat magrib berjalan dengan khusuk dan
khidmat dan dari kejauhan terdengar lagi teriakan histeris dari Oppie Dance,
tapi acara do’a bersama tetap dilanjutkan dipimpin oleh senior Ojie.
Sehabis
do’a bersama semua peserta muslim mendekat ke tendan timnya Oppie dan
membacakan do’a, tapi secara spontan Oppie nyeletuk minta dibacakan Asma’ul
Husna oleh senior Ojie. Kala itu memang hanya senior Ojie yang betul-betul
hafal nama-nama indah Allah dalam Asma’ul Husna. Permintaan pun dituruti dengan
membacakan Asma’ul Husna satu persatu dengan merdu, ditengah proses pembacaan
Asma’ul Husna Oppie tertawa dan mengatakan “penghuni Rinjani tertawa dan minta
dibacakan ulang”. Saya lupa pada bagian mana yang minta di ulang waktu itu.
Ternyata
Oppie tidak berhenti berbicara sampai disitu, banyak omongan yang tidak masuk akal
yang keluar dari mulutnya yang sedang kesurupan. Dia mengatakan bahwa di tengah
danau ada masjid besar yang begitu indah dan seseorang memanggilnya untuk pergi
sholat kesana. Katanya dia melihat ulama besar Lombok yang sudah meninggal dunia
sedang memimpin sholat dan diikuti oleh banyak jamaah. Dia juga mengatakan jika
di atas gunung baru jari ada istana besar yang tidak kalah indahnya dan tidak pernah
melihat bangunan seindah itu sebelumnya. Malam itupun dilalui hanya dengan
mendengarkan cerita-cerita aneh yang diucapkan oleh Oppie membuat malam
terasa berjalan sangat lamban.
Pagipun
datang dengan menyisakan sedikit rasa berat di kelopak mata karena kurang tidur,
namun hari harus berjalan dengan schedule yang sudah disiapkan untuk mandi
sauna ke Goa Susu. Para korban kesurupan juga sudah bisa beristirahat dengan
normal dan bisa tersenyum dengan manis. Hari itu berjalan dengan normal tidak
ada lagi kejadian-kejadian aneh, sehabis sauna ke Goa Susu semua bisa
beristirahat dan bercanda di pinggir danau yang indah.
Turun Melalui Jalur
Senaru
Menghabiskan
waktu camping selama 2 malam membuat tubuh terasa lebih bugar dan semua
berjalan normal tanpa ada kendala apa-apa. Namun menjelang malam terakhir di
Danau Segara Anak semua peserta Pelawangan mulai kasak kusuk mengenai ritual
wajib semua anggota baru untuk mandi bersama di danau saat jam 03.00 pagi. Dari
bisik-bisik tetangga akhirnya dibuat kesepakatan semua peserta akan kompak
untuk tidak ikut perintah bila diminta untuk mandi di air danau yang begitu
dingin. Kondisi saat itu memang tidak kondusif mengingat perjalanan sebelumnya
yang begitu dramatis dan menguras banyak energi dan pikiran. Bahkan dari hasil
bisik-bisik sambil menikmati pinggiran danau salah seorang pendaki lokal
separuh baya yang menguping bisik-bisik kami menaruh empati dan akan berupaya
membantu untuk mencegahnya. Mengingat kondisi cuaca saat itu cukup dingin
karena hembusan angin dan kabut selalu menyelimuti dan menutupi seluruh areal
danau Segara Anak.
Tapi
bak gayung bersambut ternyata para senior membuat sebuah keputusan tidak
terduga, ritual mandi di danau ditiadakan karena kondisi peserta yang baru
pulih dari kondisi yang tidak pernah di duga sebelumnya. Malam itupun semua
peserta seperti mendapaatkan kado terindah dan bisa tersenyum lega sambil
menghisap dalam-dalam rokok masing-masing. Hembusan asap dari peserta Pelawangan
malam itu seperti mau bersaing dengan kabut malam yang cukup tebal, dalam hati
semua kegirangan karena terbebas dari bayangan rasa dingin di tengah malam
gelap gulita. Semua bisa tidur dengan tenang dengan mimpi indah masing-masing.
Pagi
itu menjelang subuh para senior membangunkan peserta dan meminta satu orang
perwakilan dari tiap tim untuk turun mengambil air bersih sebagai persiapan
untuk minum dan memasak. Salah seorang senior waktu itu berpesan agar berjalan
beriringan dan bila bertemu seseorang diperjalanan yang mengajak berbincang
harus diabaikan alias cuek bebek saja. Semua mengangguk tanda mengerti sambil
berjalan dengan “day pack” penuh
botol kosong dan jerigen masing-masing sambil menenteng senter. Nyaris selama di
perjalanan mengambil air ini tidak ada pembicaraan sama sekali. Semua diam
dengan pikiran masing-masing atau memang masih mengantuk…??
Tiba
di sumber air barulah teman Made Jobless membuka obrolan dengan mengajak
membakar rokok, sambil menunggu botol-botol berisi penuh semua becanda ringan
sesekali diiringi tawa. Dari arah timur sudah ada tanda merah di langit yang
menandakan fajar sudah masuk yang berarti sebentar lagi akan diiringi oleh
pergantian hari.
Tepat
pukul 08.00 pagi semua peserta sudah dikumpulkan untuk berdo’a sebelum
berangkat turun melalui jalur senaru. Lambat namun pasti langkah demi
langkahpun mengantarkan kami sampai di pos 3 Senaru diiringi gerimis hujan yang
terasa seperti menusuk diantara baju-baju penuh keringat. Napas sedikit lega
karena di tempat ini kita dikasih kesempatan untuk beristirahat lebih lama
sambil menikmati bekal diiringi obrolan dan canda lepas tanpa perlu takut-takut
lagi.
Selepas
pos 3 di tengah guyuran hujan yang merembes dari sela-sela daun pohon lebat
saya sedikit mengalami musibah. Terasa ada yang basah dan mengalir di area
betis bagia belakang, setelah diraba dan dilihat ternyata itu adalah darah
segar. Aliran darah tersebut berasal dari bekas gigitan pacet yang menempel
pada bagian belakang betis. Saya tidak tahu sudah berapa banyak darah yang
dihisap oleh pacet tersebut sehingga pergi begitu saja dengan sendirinya. Darah
saya bersihkan memakai daun-daun basah dan sesekali memakai scraf yang saya
bawa.
Kondisi
ini membuat stamina saya menjadi sedikit kendor setelah melewati “Bunut Ngengkang” sempat terpeleset
jatuh dan puncaknya menjelang pintu hutan. Saat itu saya sampai meminta abang Daeng sebagai
sweeper untuk jalan duluan. Ternyata si abang tetap menunggu saya yang
istirahat sejenak sambil menurunkan carrier berisi tenda dan peralatan tim yang
terasa makin berat karena basah air hujan. Sampai pintu hutan para senior dan
peserta yang lain sudah duduk menunggu karena mereka sudah duluan tiba di
tempat itu. Sambil becanda beberapa
teman mengolok saya yang menjadi peserta juru kunci..Hehehe
Beruntung
sekali punya senior yang baik hati seperti abang Okem, yang di pintu hutan
memberikan saya minum ½ botol minuman energy yang dibawanya. Tubuh terasa segar
kembali dan bisa turun ke base camp Galang Ijo milik ortu nya teman Apang
sambil berlari-lari kecil. Akhirnya saya bisa juga turun dengan cepat tanpa
harus menjadi juru kunci lagi.
Mandi Bersama di
Air Terjun Sendang Gila
Semua
peserta berfikir saat itu kendaraan sudah siap di Senaru, tapi ternyata tidak
ada dan diminta untuk segera mendirikan tenda karena akan bermalam disana.
Tanpa diduga para senior memiliki rencana menjalankan ritual “berendam” bersama
di lokasi air terjun Sindang Gila. Tepat jam 03.00 pagi semua peserta
dibangunkan dan diminta menyiapkan senter, sambil terkantuk-kantuk semua
berjalan keluar tenda dengan bawaan masing-masing. Sebelum menuju lokasi air
terjun semua berdo’a bersama sambil masing-masing dibagikan ‘bekal” kayu bakar untuk
api unggun.
Tiba
di lokasi air terjun satu persatu peserta diminta untuk turun ke dalam air yang
dingin, gigi langsung bergemelatuk ketika tubuh terendam air. Airnya
betul-betul dingin dan peserta diminta untuk merem sambil para senior
berkeliling menyiramkan “shampoo racikan” yang mengeluarkan bau menyengat.
Beberapa teman sempat terdengar mual ketika rambutnya mulai disirami shampoo
khas tersebut. Entah berapa lama kita direndam dan dikeramas memakai shampoo
ala senior, cuma rasa dingin yang terasa saat diminta naik mendekat ke api
unggun. Api unggun yang sudah menyala ternyata tidak cukup untuk menghangatkan
telapak tangan yang sudah mulai mengkerut karena kedinginan. Suara gemelatuk
gigi yang bersahutan seakan membuat irama vocal group yang unik. Pagi itu
apacara pengukuhan anggota dilakukan di tengah cuaca yang membeku yang dipimpin
oleh Ketua Mapala FE Mas Dedy Blankon. Entah apa yang disampaikan saat
pemberian doktrin karena semua khusuk menahan dingin yang menusuk sampai
tulang.
Spesial
buat teman-teman hebat peserta Plawangan 2000 dan para senior yang gagah-gagah
dan cantik-cantik…
Tulisan
ini untuk mengenang 7 orang mahasiswa Institut Agama Islam Hamzanwadi Anjani
Lombok Timur yang meninggal dunia pada pendakian bulan Maret 2007…Semoga diberikan
tempat terbaik di sisiNYA…Amin
Alam
bisa kita lintasi tapi sesungguhnya kita tidak akan pernah bisa menaklukkan
alam…
Lah sampai khusyuk baca ceritanya... Bravo tmn2 mapala Fe...
BalasHapusBravo jg buat ente bro...Makin subur aja
BalasHapusNice story bro..
BalasHapus